Makalah Kimia Medisinal
Perbedaan interaksi dengan reseptor dari
senyawa-senyawa diastereoisomer dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 35. Interaksi isomer optic dengan
hipotesis menurut Easson dan Stedman
BAB I
PENDAHULUAN
Stereokimia
merupakan salah satu faktor penting dalam aktivitas biologis obat oleh karena
itu pengetahuan tentang hubungan aspek stereokimia dengan aktivitas
farmakologis obat sangat menarik untuk dipelajari.
Untuk
berinteraksi dengan reseptor, molekul obat harus mencapai sisi reseptor dan
sesuai dengan permukaan reseptor. Faktor sterik yang ditentukan oleh stereokimia
molekul obat dan permukaan sisi reseptor, memegang peran penting dalam
menentukan efisiensi interaksi obat reseptor. Oleh karena itu agar berinteraksi
dengan reseptor dan menimbulkan respons biologis, molekul obat harus mempunyai
struktur dengan derajat kespesifikan tinggi.
Pada
interaksi obat reseptor ada dua nilai yang sangat penting yaitu distribusi
muatan elektronik dalam obat dan reseptor, serta bentuk konformasi obat dan
reseptor. Oleh karena itu aktivitas obat tergantung pada tiga faktor struktur
yang penting, yaitu:
a.
Stereokimia molekul obat
b.
Jarak antar atom atau
gugus
c.
Distribusi elektronik
dan konfigurasi molekul
Perbedaan aktivitas
farmakologis dari beberapa stereoisomer disebabkan oleh tiga faktor, yaitu:
a.
Perbedaan dalam
distribusi isomer dalam tubuh
b.
Perbedaan dalam
sifat-sifat interaksi obat-reseptor
c.
Perbedaan dalam
adsorpsi isomer-isomer pada permukaan reseptor yang sesuai
Dua hal penting yang
perlu diketahui adalah modifikasi isosterisme dan pengaruh isomer terhadap
aktivitas biologis obat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
MODIFIKASI
ISOSTERISME
Untuk
memperoleh obat dengan aktivitas yang lebih tinggi, dengan efek samping atau
oksisitas yang lebih rendah dan bekerja lebih selektif, perlu dilakukan
modifikasi struktur molekul obat.
Istilah
isosterisme telah digunakan secara
luas untuk menggambarkan seleksi dari bagian sruktur yang karena karakterisasi
sterik, elektronik dan sifat kelarutannya, elektronik dan sifat kelarutannya,
memungkinkan untuk saling dipergantikan pada modifikasi struktur molekul obat.
Langmuir (1919) mencoba
mencari hubungan yang dapat menjelaskan adanya persamaan. Sifat fisik dari
olekul yang bukan isomer, dan memberikan batasan bahwa isosteris adalah
senyawa-senyawa, kelompok atom-atom, radikal atau molekul yang mempunyai jumlah
dan pengaturan elektron yang sama, bersifat isoelektrik dan mempunyai kemiripan
sifat-sifat fisik.
Contoh:
molekul N2 dan CO masing-masing mempunyai total elektron = 14,
sama-sama tidak bermuatan ditunjukkan sifat fisik yang relatif sama, seperti
kekentalan, kerapatan, indeks refraksi, tetapan dielektrik dan kelarutan. Hal
ini berlaku pula untuk molekul-molekul N2O dan CO2, N3
dan NCO- serta CH2N2 dan CH2 = Co.
Grimm (1925), memperkenalkan
hukum pergantian hibrida yang menyatakan bahwa penambahan atom H, suatu
elektron sunyi, pada atom atau molekul yang kekurangan elektron pada orbital
terluarnya (pseudo atom), dapat
menghasilkan pasangan isosterik.
Contoh
konsep Grimm tentang pergantian
hibrida dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Contoh
: gugus –CH = dan atom –N =, masing-masing mempunyai total elektron = 7 dan bersifat sebagai pseudo atom. Penambahan atom H akan menghasilkan pasangan isosterik
–CH2- dan -NH- .
Erlenmeyer (1948), memperluas
definisi isosteris yaitu atom, ion atau molekul yang jumlah, bentuk, ukuran,
dan polaritas elektron pada lapiran terluar sama,dapat dilihat pada tabel
dibawah ini.
Arti
isosteris secara umum adalah
kelompok atom-atom dalam molekul, yang mempunyai sifat kimia atau fisika mirip,
karena mempunyai persamaan ukuran, keelektronegatifan atau stereokimia.
Contoh
pasangan isosterik yang mempunyai sifat sterik dan konfigurasi elektronik sama
adalah :
a. Ion
karboksilat (-COO-) dan ion sulfonamida (-SO2NR-)
b. Gugus
keton (-CO-) dan gugus sulfon (-SO2-)
c. Gugus
klorida (-Cl) dan gugus trifluorometil (-CF3)
Gugus-gugus divalen
eter (-O-), sulfida (-S-), amin (-NH-) dan metilen (-CH2-) meskipun
berbeda sifat elektroniknya tetapi hampir sama sifat steriknya sehingga sering
pula dipergantikan pada suatu modifikasi struktur.
Secara umum prinsip
isosterisme ini digunakan untuk:
a.
Mengubah struktur
senyawa sehingga didapatkan senyawa dengan aktivitas biologis yang dikehendaki.
b.
Mengembangkan analog
dengan efek biologis yang lebih selektif
c.
Mengubah struktur
senyawa sehingga bersifat antagonis terhadap normal metabolit (antimetabolit)
Friedman
(1951) memperkenalkan istilah bioisosterisme, yang kemudian berkembang menjadi salah sau konsep
dasar sebagai hipotesis untuk perkembangan kimia medisinal. Idealnya,
bioisosterisme melibatkan pergantian gugus fungsi dalam struktur molekul yang
spesifik aktif dengan gugus lain dan pergantian tersebut akan menghasilkan
senyawa baru dengan aktvitas biologis yang lebih baik.
Burger
(1970) menghasilkan bioisosterisme sebagai berikut:
1.
Bioisosterisme
klasik
a. Atom
atau gugus monovalen, contoh : R-X-Hn, di mana X adalah atom C, N, O
atau atom S, dan R-X, dimana X adalah atom F,Cl, Br, dan I
b. Atom
atau gugus divalen, contoh : R-X-R', dimana X adalah O, S, CH2 atau
NH
c. Atom
atau gugus trivalen, contoh : R-N=R', R-CH=R', R-P=R', R-As=R', dan R-Sb=R'
d. Atom
atau gugus tetravalen, contoh : R=N+=R', R=C=R', R=P+=R',
R=As+=R' dan R=Sb+=R'
e. Kesamaan
cincin, contohnya: pergantian gugus dalam satu cincin, seperti gugus -S-, -O-,
-NH-, -CH2-, -CH=CH-
2.
Bioisosterisme
nonklasik
a. Susbtitsi
gugus akan memberikan pengaturan elektronik dan sterik yang serupa dengan
senyawa induk
Contoh: penggantian H dengan F
Contoh gugus bioisosterik nonklasik
dapat dilihat pada tabel
b. Penggantian
gugus dengan gugus lain yang tidk mempunyai persamaan sifat elektronik aau
sterik tetapi masih menimbulkan aktivitas biologis yang sama.
Contoh : penggantian gugus
alkilsulfonamido (-SO2NH-R) dengan gugus hidroksi (-OH) pada turunan
katekolamin
c. Penggantian
cincin dengan struktur nonsiklik
Contoh : penggantian cincin benzen
dengan heksatriena (H2C=CH-CH=CH-CH=CH2)
Hansch
mengklasifikasikan
bioisosterisme berdasarkan persamaan kualitatif (aktivitas biologis) dan
kuantitatif melalui parameter sifat kimia fisika seperti π,σ dan Es sebagai
berikut :
1.
Isometrik
bioisosterisme (bioisosterisme sebenarnya), dimana
gugus-gugus yang saling dipergantikan mempunyai persamaan kualitatif dn
kuantitatif, yaitu mempunyai nilai tetapan kimia fisika hampir sama dan dapat
menghasilkan respons biologis yang serupa pula.
Contoh : penggantian
gugus 4-Cl dengan gugus 3-OC2H5 dari turunan sulfonamida,
yang diuji aktivitas penghambatan terhadap pertumbuhan Escherichia coli, hasilnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Dari
tabel dapat terlihat gugus 4-Cl dan 3-OC2H5 mempunyai
nilai π dan σ hampir sama dan menghasilkan efek biologis yang hampir sama pula,
sehingga keduanya dikategorikan sebagai isometrik
bioisosterik.
2.
Nonisometrik
bioisosterik (bioisosterik parsial), dimana
gugus-gugus yang saling dipergantikan mempunyai persmaan kualitatif tetapi
tidak sama sifat kuantitatifnya.
Contoh : penggantian
gugus 4-F dengan 4-NO2 dari turunan arilamida, dan diuji
aktivitasnya pembentukan kompoleks terhadap alkohol dehidrogenase, hasilnya
dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Pada
tabel terlihat bahwa gugus 4-F dengan 4-NO2 mempunyai nilai
parameter kimia fisika sangat berbeda tetapi dapat menghasilkan respons
biologis yang relatif sama, sehingga kedua gugus tersebut dikategorikan sebagai
nonisometrik bioisosterik.
Meskipun tidak
memungkinkan mencapai isosterisme murni, prinsip isosterisme dan bioisosterisme
masih banyak digunakan untuk memodifikasi senyawa biologis aktif. Subtitusinya
tidak hanya menghasilkan produk yang mempunyai efek identik tetapi juga produk
yang bersifat antagonis.
Contoh :
1.
Aminopirin,
senyawa isosteriknya mempunyai aktivitas
analgesik-antipiretik yang sama
2.
Asetilkolin
dan karbakol mempunyai aksi muskarinik yang serupa
3.
2-Tenilalanin
yang merupakan senyawa antagonis biologis dari fenilalanin
Penggantian gugus atau
atom tertentu dari normal metabilot dengan gugus
deseptor, pada umumnya, walaupun tidak selalu akan menghasilkan senyawa antagonis kompetitif. Gugus
deseptor dapa dilihat pada tabel dibawah ini.
Pada modifikasi
isosterisme tidak ada hukum yang secara umum dapat memperkirakan apakah akan
terjadi peningkatan atau penurunan aktivitas biologis. Meskipun demikian
isosterisme masih layak dipertimbangkan sebagai dasar rancangan obat dan
modifikasi molekul dalam rangka menentukan obat baru.
Contoh
modifikasi
isosterisme:
1.
Penggantian gugus
sulfida (-S-) pada sistem cincin fenotiazin dan cincin tioxanten, dengan gugus
etilen (-CH2CH2-), menghasilkan sistem cincin
dihidrodibenzazepin, dan dibenzosiklo-heptadien yang berkhasiat berlawanan.
Contoh
: gugus S pada promazin dan klorprotixen, suatu obat penekan sistem
saraf pusat
(tranquilizer),
bila diganti dengan gugus etilen, menghasilkan imipramin dan amitriptilin
yang berkhasiat sebagai perangsangan sistem saraf pusat (antidepresi).
Meskipun tidak
dimungkinkan mencapai isosterisme murni, prinsip isosterisme dan bioisosterisme
masih banyak digunakan untuk modifikasi senyawa biologis aktif. Subtitusi tidak
hanya menghasilkan produk yang mempunyai
efek identik tetapi juga produk yang bersifat antagonis.
Contoh :
1). Aminopirin, senyawa isosteriknya
mempunyai aktivitas analgesik-antipiretik yang sama.
2). Asetilkolin dan karbakol mempunyai aksi muskarinik yang serupa.
3). 2-Tenilalanin merupakan senyawa
antagonis biologis dari fenilalanin.
Penggantian gugus atau
atom tertentu dari normal metabolit dengan gugus
deseptor, pada umumnya, walaupun tidak selalu, akan menghasilkan senyawa antagonis kompetitif.
Contoh gugus dapat
dilihat pada Tabel 17.
Pada modifikasi
isosterisme tidak ada hukum yang secara umum dapat memperkirakan apakah akan
terjadi peningkatan atau penurunan aktivitas biologis. Meskipun demikian
isosterisme masih layak dipertimbangkan sebagai dasar rancangan obat dan
modifikasi molekul dalam rangka menemukan obat baru.
Contoh modifikasi isosterisme
:
1). Pergantian gugus
sulfida (-S-) pada sistem cincin fenotiazin dan cincin tioxanten, dengan gugus
etilen (-CH2CH2-), menghasilkan sistem cincin
dihidrodibenzazepin dan dibenzosiklo-heptadien yang berkhasiat.
Tabel
17. Gugus-gugus
deseptor dan metabolit kompetitif
Atom atau gugus
normal
|
Atom atau gugus
deseptor
|
Metabolit kompetitif
|
-H
-OH
-NH2
-CH3
-S-
-COOH
-COR
-CO-
|
-F,
-Br
-NH2
-OH
-NHNH2
-Cl
-C2H5
-O-
-NH-
-CH2-CH2-
-SO2NH2
-SO3H
-CONR2
-PO(OR)2
-CH2-
|
5-Fluoro/Bromourasil
Aminopterin
Oksitiamin
β-Feniletilhidrazin
2-Kloronaftoquinon
Etionin
Dalam metionin
Analog tiamin
Dalam biotin
Sulfanilamid
Dalam asam nikotinat
Karbamilkolin
Antagonis
asetilkolinesterase
Deoksipiridoksal
|
Contoh gugus S pada
promazin dan klorprotixen, suatu obat penekan sistem saraf pusat
(tranquilizer), bila diganti dengan gugus etilen, menghasilkan imiptriptilin
yang berkhasiat sebagai perangsang sistem saraf pusat (antidepresi).
2). Turunan
dialkiletilamin
R – X – CH2
– CH2 - N – (R’)2
X = O, NH, CH2,
S : senyawa antihistamin
X = COO, CONH, COS : senyawa pemblok adrenergik
3). Turunan Ester
etiltrimetilamonium
R-COO-CH2-CH2-N+(CH3)3
CH3 Asetilkolin : masa
kerja muskarinik singkat
NH2 Karbamikolin : masa kerja
muskarinik panjang
Penggantian
gugus CH3 dengan gugus NH2 yang bersifat penarik elektron dapat meningkatkan kestabilan ester terhadap proses metabolime sehingga
karbamilkolin, mempunyai masa kerja muskarinik lebih panjang disbanding
asetilkolin.
4)
Obat antidiabetes turunan sulfonamida
Tolbutamid dan klorpropamid mempunyai waktu
paro biologis (t1/2) lebih panjang dan toksisitas yang lebih rendah dibanding
karbutamid karena gugus tolbutamid merupakan gugus yang relatif labil dibanding
gugus Cl, dan pada in vivo mudah
teroksidasi menjadi asam karboksilat (t1/2 = 5,7 jam). Gugus Cl pada
klorpropamid lebih tahan terhadap proses oksidasi sehingga masa kerja obat
lebih panjang (t1/2 lebih besar dari 33 jam).
5.
Prokain dan prokainamid
Gugus
dipol C=O mempunyai peran spesifik dalam konduksi saraf. Resonansi dari gugus
amida prokainamid akan kekuatan dipol gugus C=O, sehingga prokainamid mempunyai
aktivasi anestesi setempat lebih rendah dibanding prokain. Struktur prokainamid
lebih lebih stabil dibanding prokain karena lebih tahan terhadap hidrolisis
oleh enzim esterase sehingga secara oral dapat digunakan untuk pengobatan
aritmia jantung karena mempunyai masa kerja yang lebih panjang.
6.
Antimetabolit purin
Adenin
dan hipoxantin merupakan metabolit normal dalam tubuh. Gugus NH2 dan OH pada C6
memegang peranan penting pada interaksi yang melibatkan ikatan hydrogen dari
kedua basa, pada proses replikasi asam nukleat dalam biosintesis protein sel.
Penggantian gugus-gugus tersebut dengan gugus SH, contoh : 6-merkaptopurin,
akan memperlemah ikatan hidrogen, terjadi hambatan sebagian dari proses
interaksi di atas sehingga kecepatan sintesissel menurun dan senyawa berfungsi
sebagai antimetabolit (antikanker).
Selain
gugus isosterik dan bioisosterik dikenal pula gugus haptoforik dan gugus
farmakoforik. Gugus haptoforik adalah gugus yang membantu pengikatan
obat-reseptor, sedang farmakoforik adalah gugus yang bertanggung-jawab terhadap
respons biologis..
Contoh
gugus haptoforik adalah gugus-gugus besar sepertidifenilmetil yang terdapat
pada difenhidramin (antihistamin), metadon (analgesik narkotika) dan DDT
(insektisida), atau gugus fenotiazin, seperti yang terdapat pada prometazin
(antihistamin) dan klorpromazin (tranquilizer).
Contoh
gugus farmakoforik adalah gugus sulfonilurea (antidiabetes), sulfonamida
(antibakteri), dan gugus sulfon (penghambat karbonik anhidrase)
Gugus haptoforik dan farmakoforik dapat berinteraksi melalui
mekanisme yang berbeda dengan tipe reseptor, hal ini terjadi pada turunan
sufonik seperti yang terlihat pada Tabel 18.
Struktur
|
Anti-
Diabetes
|
Bakterio-
Statik
|
Penghambat
Karbonik
anhidrase
|
Saluretik
|
|||||||||
Turunan sulfonilurea
R = CH3; R’ = n – C4H9 : Tolbutamid
R = NH2; R’ = n – C4H9 : Karbutamid
|
+++
+++
|
-
++
|
-
-
|
-
-
|
|||||||||
Turunan
sulfonamid
R = Sufadiazin
R = Sulfanilamid
|
-
-
|
+++
++
|
-
++
|
-
-
|
|||||||||
Turunan sulfon
Karzenid
Klorotiazid
|
-
-
|
-
-
|
+++
++
|
-
+++
|
B. ISOMER DAN
AKTIVITAS BIOLOGIS OBAT
Sebagian besar obat yang termasuk golongan farmakologis sama,
pada umumnya mempunyai gambaran struktur tertentu. Gambaran struktur ini
disebabkan oleh orientasi gugus-gugus fungsional dalam ruang dan pola yang
sama. Dari gambaran sterik dikenal beberapa macam struktur isometri, antara
lain adalah isomer geometrik, isomer konformasi, diastereoisometri dan isomer
optik. Bentuk-bentuk isomer tersebut dapat mempengaruhi aktivitas biologis
obat.
1). Isomer
Geometrik dan Aktivitas Biologis
1.
Isomer geometrik dan aktivitas biologis
Isomer geometri atau isomer cis
trans adalah isomer yang disebabkan adanya atom-atom atau gugus-gugus yang
terikaat secara langsung pada suatu ikatan rangkap atau dalam suatu sistem
alisiklik. Ikatan rangkap dan sistem alisiklik membatasi gerakan atom dalam
mencapai kedudukan yang stabil sehingga terbantuk isomer cis-trans dan isomer
cistrans cenderung menahan gugus-gugus daklam molekul pada ruang yang relatif
berbeda dan perbedaan letak gugus-gugus tersebut dapat menimbulkan perbedaan
kimia fisika. Akibatnya, distribusi isomer dalam media biologis juga berbeda,
dan berbeda pula kemampuan isomer untuk interaksi dengan reseptor biologis.
2.
Isomer konfirmasi dan aktivitas biologis
Isomer konfirmasi adalah isomer yang
terjadi karena ada perbedaan pengaturan ruang dari atom-atom atau gugus-gugus
dalam struktur molekul obat. Isomer konfirmasi lebih stabil pada struktur
senyawa non aromatik. Contoh sikloheksan dapat membentuk 3 konfomer yaitu
bentuk kursi, perahu, dan melipat. Sikloheksan cenderung dalam bentuk
konfirmasi kursi dibanding bentuk konfirmasi perahu atau melipat. Substituen
atau gugus pada cincin sikloheksan cenderung ditahan pada kedudukan equatorial
oleh karena bentuk aksial lebih muda terpengaruh oleh efek sterik.
Pada
bentuk 1,3 diaksial, subtituennya cenderung tolak-menolak satu sama lain
sehingga mengubah kelenturan cincin dan menmpatkan substituen pada kedudukan
ekuatorial yang kurang terpengaruh oleh efek sterik. Pada cincin non aromatik,
atom atau gugus yang terikat dapat pada kedudukan ekuatorial atau aksial atau
kedua-duanya dan dapat menunjukkan aktivitas biologis yang sama atau berbeda. Contoh
,
Trimeperidin
adalah senyawa narkotik analgesik poten pada struktur molekulnya bentuk
konfirmasi ekuatorial atau aksial ditunjang dan berorientasi pada gugus fenil
dan gugus alisiklik. Gugus fenil cendrung dipertahankan dalam bidang cincin
pada kedudukan ekuatorial. Untuk mengubah kedudukan aksial dibutuhkan energi
lebih kurang7 kilo kalori/mol. Isomer aksial dan ekuatorial dari trimeperidin
mempunyai analgesik sama. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh bentuk isomer
konfirmasi terhadap aktivitas analgesik trimeperidin sangat kecil.
Planaritas
pada bagian tertentu molekul obat sangat penting untuk dapat menimbulkan
aktivitas biologis pada umumnya. Pada umumnya akan menunjang rigiditas molekul
obat dan ini terjadi pada cincin aromatik atau suatu sistem kerkonjugasi yang
lain . atom atau gugus yang terikat secara langsung pada cincin atau sistem
tersebut akan berada pada ruang yang sama.
Kadang-kadang
aktivitas biologis senyaswa tidak berhubungan dengan gugus fungsi tetapi hanya
bergantung pada aromatik atau karakteristik planar dari molekul.
Contoh
:
1.
Amfetamin yang mempunyai cincin aromatik lebih aktif dibanding analog jenuhnya.
Aktivitasnya ditunjang oleh planaritas cincin yang menigkatkan kemampuan
senayawa untuk mengikat reseptor yang juga mempunyai permukaan planar melalui
ikatan vander waals yang relatif kuat. Pada interaksi obat yang tidak planar
dengan reseptor planarikatan van der waals relatif rendah.
2.
Aktivitas pemblok adrenergik dari b-
haloalkilamin tergantung pada koplanaritas substituen pada cincin benzen.
Kadang-kadang
suatu molekul senyawa tertentu memberikan lebih dari satu efek biologis karena
mempunyai bentuk konfirmaasi yang unik dan lentur sehingga dapat berinteraksi
dengan reseptor-reseptor yang berbeda.
Contoh
1.
Asetil kolin
Asetilkolin
memiliki dua bentuk konfirmasi yaitu
a.
bentuk konfirmasi tertutup
Pada
bentuk ini atom H dari N-metil letaknya berdekatan demgam atom O dari gugus
asetoksi sehingga terjadi ikatan hidrogen intermolekul membentuk struktur
tertutup. Bentuk konfirmasi ini dapoat berinteraksi dengan reseptor nikotinik
dari ganglia dan penghubung saraf otot.
b.
bentuk konfirmasi memanjang penuh
pada
bentuk ini atom H dari N-metil letaaknya berjauhan dengan atom O sehingga
membentuk struktur memanjang. Bentuk konfirmasi ini dapat berinteraksi dengan
reseptor muskarinik dari saraf post ganglionik parasimpatik dan mudah
dihidrolisis oleh enzim asetilkolinesterase,
2.
2-Asetoksisiklopropiltrimetilamonium iodida
Pada
bentuk (+) trans, atom H dari N-metil letaknya berjauhan dan terpisah dari atom
O gugus asektosi sehingga mempunyai bentuk konfirmasi memanjang seperti
asetilkolin. Senyawa ini memiliki derajat kekakuan yang lebih besar dari
asetilkolin dan mempunyai aktivitas muskarinik pada pembuluh darah anjing 5
kali lebih besar dari asetilkolin.
Bentuk isomer (+) trans juga mudah
dihidrolisis oleh enzim esterase dengan kecepatan yang sama seperti hidrolisis
asetilkolin. Bentuk isomer (-) trans, (+)cis, dan (-) cis, aktivitas
muskariniknya sangat rendah.
3.
histamin
Histamin
mempunyai tiga bentuk isomer konformasi, yaitu 2 bentuk konformasi memanjang
dan bentuk konformasi tertutup.
Pada
struktur triprolidin, senyawa antagonis H1, jarak antara kedua atom N=4,88 ± 0,2 angstrom dan diduga berfungsi
sebagai antagonis spesifik terhadap histamin bentuk konfirmasi A. senyawa
antagonis H2, seperti simetidin diduga merupakan antagonis dari histamin bentuk
konfirmasi B.
3.
Diastereoisomer dan Aktivitas Biologis
Diastereoisomer
adalah isomer yang disebabkan oleh senyawa yang mempunyai dua atau lebih pusat
atom asimetrik, mempunyai gugus fungsional sama dan memberikan tipe reaksi yang
sama pula. Kedudukan gugus-gugus substitusi terletak pada ruang yang relatif
berbeda sehingga diastereoisomer mempunyai sifat fisik, kecepatan reaksi dan
sifat biologis yang berbeda pula.
Perbedaan sifat-sifat di atas berpengaruh terhadap distribusi,
metabolisme dan interaksi isomer dengan reseptor.
|
Keterangan :
Nilai
koefisien partisi lemak/air isomer cis tidak sama dengan isomer trans atau log P (cis) =
log P (trans).
A,B,
dan C : gugus-gugus pada
Isomer
A’,B’,dan
C’ : tempat yang sesuai pada
reseptor
Gambar. Interaksi
diasterioisomer dengan reseptor biologis
Diasterioisomer kemungkinan juga mempunyai aktifitas optic.
Contoh :
efedrin, mempunyai 2 atom C asimetrik dengan 4 bentuk aktif optis, dapat
membentuk diasterioisomer (+-) eritro dan
(+-) itreo, yang dapat dilihat pada gambar:
Tabel. Hubungan
isomer-isomer efedrin dan aktivitas presor relative (APR)
Isomer
|
APR
|
D (-) Eferdrin
L (+) Efedrin
D(-) Pseudoefedrin
L(+) Pseudoefedrin
DL(+-) Efedrin
DL(+-) Pseudoefedrin
|
36
11
7
1
26
4
|
Aktifitas
presor relative (APR) isomer-isomer efedrin dapat dilihat pada table.
Dari gambar dan
table terlihat bahwa aktivitas maksimal dicapai bila pusat Cα berada
pada kedudukan (S) dan pusat Cβ pada kedudukan (R). Jadi hanya bentuk D (-) efedrin yang secara
nyata dapt memblok reseptor β-adrenergik dan menurunkan tekanan darah.
4.
Isomer Optik dan
Aktivitas Biologis
Isomer Optik adalah isomer yang disebabkan oleh senyawa
yang mempunyai atom C asimetrik. Isomer optic mempunyai sifat kimia Fisika sama dan hanya berbeda
pada kemampuan dalam memutar bidang cahaya terpolarisasi atau berbeda rotasi
optiknya. Masing-masing isomer hanya dapat memutar bidang cahaya terpolarisasi
ke kiri atau ke kanan saja dengan sudut pemutaran yang sama.
Isomer
optic kadang-kadang mempunyai aktivitas
biologis yang berbeda karena ada perbedaan
dalam interaksi isomer-isomer
dengan reseptor biologis.
Menurut
Beckett, perbedaan interaksi
isomer-isomer optic dengan reseptor biologis diilustrasikan seperti pada gambar
Contoh
obat yang dapat membentuk isomer optic
dengan aktivitas biologis berbeda :
1.
(-)-
Hiosiamin, aktivasi medriatiknya 15-20 kali lebih besar disbanding isomer (+)
2.
D-(-)adrenalin,
aktivitas vasokonsttiktornya 12-15 kali lebih basar disbanding isomer (+)
3.
(-)-Sinefrin,
aktivitas presornya 60 kali lebih besar disbanding isomer (+)
4.
(-)-α-Metildopa,
mempunyai efek antihipertensi, sedang isomer (+) tidak menimbulkan efek
antihipertensi
5.
D-(-)-treo-Kloramfenikol
mempunyai efek antibakteri, sedang isomer L (+) eritro efeknya negative
6.
(+)-Norhormoepinefrin,
aktivitas presosnya 160 kali lebih besar disbanding isomer (-)
|
||||
Keterangan :
Nilai
koefisien partisi lemak/air dari isomer (-) atau log P (+) = log P(-)
A,
B, dan C : gugusgugus pada
isomer
A’,
B’, dan C’ : tempat yang sesuai
pada reseptor
Gambar 34. Interaksi isomer dengan reseptor Biologis.
7.
(+)-α-Propoksifen
mempunyai efek analgesikm d\sedang isomer (-) mempunyai efek antibatuk
8.
L-(+)-Asam
askorbat mempunyai efek antiskorbut, sedang isomer (-) efeknya negarif
9.
S-(+)-Indometasin
mempunyai efek antiradang, sedang isomer R(-) efeknya negative
10.
Isomer
(-) dan (+)-klorokuin mempunyai efek antimalaria yang sama, hal ini berarti
bahwa aspek steriokimia sedikit berpengaruh terhadap aktivitas biologis
kliekuin
Perbedaan
aktivitas dari isomer-isomer optic dapat dijelaskan dengan beberapa perkiriraan
sebagai berikut :
1.
Ada
perbedaan distribusi dari isomer-isomer dalam tubuh, tanpa memandang perbedaan
kerja pada sisi reseptor. Perbedaan ini disebabkan isomer optic diseleksi
terlebih dahulu oleh system biologis sebelum mencapai reseptor spesifiknya.
Contoh
:
a.
Isomer
optic berinteraksi dengan senyawa aktif optic dalam cairan tubuh, missal
protein plasma, membentuk diasterioisomer sehungga terjadi perbedaan absorbs,
distribusi dan metabolism isomer-isomer tersebut.
b.
Salah
satu isomer optic cenderung dimetabolisis oleh enzim yang bersifat
stereospesifik
c.
Salah
satu isomer diabsorbsi secara selektif pada sisi kehilangan yang
stereospesifik, missal pengikatan oleh protein plasma tertentu
2.
Menurut
Cushny , perbedaan aktivitas
tersebut disebabkan karena isomer optic berinteraksi denga sisi reseptor yang
aktif optis, menghasilkan diasterioisomer dengan sifat kimia fisika berbeda
sehingga terjadi perbedaan dalam distribusi dan interaksi dengan reseptor
spesifik.
3.
Menurut
Easson dan Stedman, struktur isomer
optic secara teoritis dapat menimbulkan efek fisiologis yang berbeda karena ada
perbedaan dalam hal pengaturan molekul sehingga salah satu isomer dapat
berinteraksi dengan reseptor hipotesis sedang isomer yang lain tidak dapat
berinteraksi.
Interaksi
reseptor hipotesis dengan isomer optic dapat dijelaskan pada gambar 35
Easson-Stedman
juga memberikan
postulat bahwa isomer optic dari epinefrin,
suatu obat adenergik, dapat menimbulkan aktivitas presor yang berbeda
karena mempunyai perbedaan dalam interaksi dengan permukaan reseptor.
Perbedaaan interaksi
isomer-isomer epinefrin dengan permukaan reseptor dijelaskan pada gambar 36
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
Gambar 36 Interaksi
isomer-isomer epinefrin dengan permukaan reseptor.
Dari
gamabar 36 terlihat bahwa pada (-) epinefrin ketiga gugus diikat secara serasi
pada permukaan reseptor sehingga menimbulkan aktivitas presor yang jauh lebih
besar disbanding (+) epinefrin,karena ada isomer (+) hanya dua gugus yang
terikat pada permukaan reseptor.
Hilangnya
gugus hidroksil pada struktur (-) epinefrin (deoksiepinefrin) menyebabkan senyawa mempunyai aktivitas presor
yang serupa dengan (+) epinefrin, karena hanya dua gugus yang mengikat
permukaan reseptor.
C.
JARAK ANTAR ATOM DAN
AKTIVITAS BIOLOGIS
Hubungan
antar struktur kimia dengan aktivitas biologis sering ditunjan oleh konsep
kelentura reseptor. Pada beberapa tipe kerja biologis, jarak antar gugus-gugus
fungsional molekul dapat berpengaruh terhadap aktivitas biologis obat. Hal ini
dapat diperkirakan dari “jarak identitas” atau jarak antar ikatan-ikatan
peptide struktus protein yang memanjang
Contoh :
1.
Obat parasimpatomimetik, seperti turunan
asetikolin (karbakol) dan parasimpatolitik,
seperti obat pemblok adrenergic, jarak antara ester karbonil dengan atom
N-metil adalah 7,2 Å, yang berarti 2 x 3,61 Å
2.
Obat kurare, seperti dekametonium,
jarak antar atom N-kuarterner adalah 14,5 Å, yang berarti 4 x 3,61 Å
3.
Hormone estrogen
nonsteriod,
seperti dietilstiolbestrol, gugus-gugus hidroksilnya juga dipisahkanoleh ikatan
hydrogen dengan jarak 14,5 Å
Selain
jarak antara ikatan peptide, jarak antara dua struktur α-heliks protein (5,5 Å)
didapatkan sama dengan jarak antar gugus-gugus fungsional dari banyak obat.
Didapatkan
pada obat-obat yang termasuk golongan anestesi setempat, seperti prokain,
antihistamin, seperti difendiramin, spasmolitik, seperti adifenin dan obat
pemblok adrenergic, seperti piperoksan.
Konfigurasi
dan jarak antar atom dari senyawa antagonis metabolic juga penting untuk
aktivitas
Contoh
: turunan sulfanilamide mempunyai jarak antar atom yang serupa dengan asam p-aminobenzoat dan dapat berfungsi
sebagai antimetabolit
Contoh-contoh
di atas menunjukan bahwa jarak antar atom dari gugus-gugus fungsional berperan
dalam proses interaksi obat dengan tempat reseptor spesifik.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Stereokimia
merupakan salah satu faktor penting dalam aktivitas biologis obat oleh karena
itu pengetahuan tentang hubungan aspek stereokimia dengan aktivitas
farmakologis obat sangat menarik untuk dipelajari.
Pada
interaksi obat reseptor ada dua nilai yang sangat penting yaitu distribusi
muatan elektronik dalam obat dan reseptor, serta bentuk konformasi obat dan
reseptor. Oleh karena itu aktivitas obat tergantung pada tiga faktor struktur
yang penting, yaitu:
a. Stereokimia molekul obat
b. Jarak
antar atom atau gugus
c. Distribusi
elektronik dan konfigurasi molekul
1 komentar:
kaka daftar pustaka nya😂?
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g:
:h: :i: :j: :k: :l: :m: :n: :o: :p:
Posting Komentar
Teman-teman yang baik hati,,
Terimakasih sudah meluangkan waktu untuk mampir diblog sederhana ini.
Blog ini saya buat untuk memudahkan sobat sekalian dalam mencari tugas.
Data yang dikumpulkan dari tugas-tugas kampus yang saya miliki juga meminta ijin men"COPAS" tulisan milik oranglain tentu dengan menyertakan sumbernya.
Saya harap kalian dapat meninggalkan pesan, komentar, kritik, saran atau beberapa patah kata guna menghargai blog ini.
Jangan lupa di follow yahh... ^^
Terimakasih ^^