ini tugas makalah adrenokortikotropin
1 Adrenokortikotropin (ACTH)
1.1 Biosintesis, Kimia dan Pengaturan Sekresi
ACTH merupakan suatu rantai lurus polipeptida, yang pada manusia terdiri dari 39 asam amino.
Pada keadaan basal kecepatan sekresi ACTH diatur oleh mekanisme umpan balik negatif hormon korteks adrenal (terutama kortisol) dalam darah. Pada defisiensi hormon korteks adrenal ini, misalnya pada pasien Addison, produksi dan sekresi ACTH akan meningkat. Pengaturan sekresi ACTH juga diatur oleh corticotropin releasing hormone (CRH) yang diproduksi di hipotalamus. CRH sampai ke hipofisis anterior melalui pembuluh darah portal hipotalamo-hipofisis.
Sekresi ACTH juga dipengaruhi oleh berbagai rangsang saraf yang sampai pada median eminens hipotalamus melalui serabut aferen dan menyebabkan pengeluaran CRH. Sebagai contoh, rangsangan pada reseptor rasa nyeri diteruskan ke saraf aferen perifer dan traktus spinotalamikus, akhirnya sampai pada median eminens hipotalamus dan menyebabkan sekresi CRH yang kemudian dialirkan ke adenohipofisis yang kemudian melepas ACTH. Reaksi emosi (takut, marah, cemas) melalui saraf aferen yang menuju ke hipotalamus juga dapat merangsang sekresi hormon korteks adrenal. Mungkin dapat menjelaskan mengapa orang yang sering dilanda emosi cenderung menderita iritasi lambung, karena pada pemberian hormon kortikosteroid sering ditemukan efek samping iritasi lambung.
Kadar kortisol darah dalam keadaan basal mengalami alun (variasi) diurnal, yaitu pada pagi hari paling tinggi sedangkan pada malam hari paling rendah. Mungkin alun diurnal ini secara tidak langsung berhubungan dengan aktivitas individu. Pengobatan menggunakan kortikosteroid sekali sehari dilakukan meniru keadaan fisiologis ini, yaitu dengan pemberian obat pada pagi hari.
1.2 Mekanisme Kerja
Setelah ACTH bereaksi dengan reseptor hormon yang spesifik di membran sel korteks adrenal, terjadi perangsangan sintesis adrenokortikosteroid pada jaringan target tersebut melalui peningkatan aktivitas adenil-siklase sehingga terjadi peningkatan sintesis siklik-AMP. Tempat kerja siklik-AMP pada steroidogenesis ialah pada proses pemecahan rantai cabang kolesterol dengan oksidasi, proses ini menghasilkan pregnenolon.
Pengaruh ekstra-adrenal ACTH antara lain dapat dilihat pada warna kulit kodok yang diisolasi. Hormon ini dapat menyebabkan warna kulit tersebut menjadi lebih hitam. Hal ini mungkin disebabkan karena pada hewan gugus asam amino ke-1 sampai ke-13 identik dengan gugus asam amino yang terdapat pada α-MSH (melanocyte-stimulanting hormone). Pada manusia hiperpigmentasi akibat ACTH dapat terjadi pada penyakit Addison karena adanya aktifitas α-MSH intrinsik pada ACTH.
1.3 Farmakokinetik
ACTH tidak efektif bila diberikan per oral karena akan dirusak oleh enzim proteolitik dalam saluran cerna. Pada pemberian IM, ACTH diabsorbsi dengan baik.
Setelah pemberian IV, ACTH cepat menghilang dari sirkulasi; pada manusia masa paruhnya kira-kira 15 menit. ACTH yang ditemukan dalam urin tidak mempunyai aktivitas biologis yang berarti. Ini menunjukkan bahwa hormon tersebut mengalami inaktivasi di jaringan.
Besarnya efek ACTH pada korteks adrenal tergantung dari cara pemberiannya. Pemberian infus ACTH 20 unit terus-menerus selama waktu yang bervariasi dari 30 detik sampai 48 jam, menyebabkan sekresi adrenokortikosteroid yang linier sesuai dengan waktu infus. Bila ACTH diberikan secara IV cepat, sebagian besar hormon ini tidak akan bekerja pada korteks adrenal.
Saat ini ada ACTH sintetik yang lebih terpilih untuk pemakaian klinik yaitu kosintropin.
1.4 Indikasi
ACTH banyak digunakan untuk membedakan antara insufiensi adrenal primer dan sekunder. Pada isufiensi primer kelenjar adrenal mengalami gangguan, sehingga pemberian ACTH tidak akan menyebabkan peninggian kadar kortisol dalam darah. Sebaliknya, pada isufiensi sekunder gangguan terletak di kelenjar hipofisis, sehingga pemberian ACTH akan menyebabkan peninggian kadar kortisol darah.
Dahulu ACTH sering digunakan untuk mengobati isufiensi adrenal dan penyakit nonendokrin lain yang memerlukan glukokortikoid, tetapi hasilnya kurang dapat dipercaya dan kurang menyenangkan bila dibandingkan dengan pemakaian kortikosteroid. Pemberian ACTH juga akan merangsang sekresi mineralokortikoid sehingga dapat menyebabkan retensi air dan elektrolit. Berbeda dengan pemberian glukokortikoid, penggunaan ACTH menyebabkan jaringan memperoleh bukan hanya glukokortikoid, tetapi juga mineralokortikoid dan androgen. Karena alasan tersebut di atas, ACTH jarang digunakan untuk pengobatan yang bertujuan mendapatkan efek glukokortikoid.
ACTH sekarang ini masih digunakan antara lain untuk mengatasi : neuritis optika, miastenia gravis, dan sklerosis multipel.
1.5 Efek Samping
ACTH dapat menyebabkan timbulnya berbagai gejala akibat peningkatan sekresi hormon korteks adrenal. Selain itu, hormon ini dapat pula menyebabkan reaksi hipersensitivitas, mulai dari yang ringan sampai syok dan kematian. Reaksi terhadap kosintropin lebih jarang terjadi. Peningkatan sekresi mineralokortikoid dan androgen menyebabkan lebih sering terjadi alkalosis hipokalemik (akibat retensi Na) dan akne bila dibandingkan dengan pemberian kortisol sintetik.
1.6 Sediaan dan Posologi
· Kortikotropin USP, larutan steril untuk pemakaian IM atau IV. Sediaan ini berasal dari hipofisis mamalia.
· Kortikotropin repositoria, merupakan larutan ACTH murni dalam gelatin untuk suntikan IM atau SK, dengan dosis 40 unit, diberikan sekali sehari.
· Kortikotropin seng hidroksida USP, suspensi untuk pemberian IM. Diberikan sekali sehari dengan dosis 40 unit.
· Kosintropin, peptida sintetik yang dapat diberikan IM atau IV, dosis 0,25 mg ekuivalen dengan 25 unit.
2. ADRENOKORTIKOSTEROID DAN ANALOG SINTETIKNYA
2.1 BIOSINTESIS DAN KIMIA
Biosintesis kortikosteroid dapat dilihat pada gambar 32-2. Korteks adrenal mengubah asetat menjadi kolestrol, yang kemudian dengan bantuan berbagai enzim diubah lebih lanjut menjadi kortikosteroid dengan 21 atom karbon dan androgen lemah dengan 19 atom karbon. Androgen ini juga merupakan sumber estradiol. Sebagian besar kolestrol yang digunakan untuk steroidogenesis ini berasal dari luar (eksogen), baik pada keadaan basal maupun setelah pemberian ACTH.
Meskipun kelenjar adrenal dapat mensintesis androgen, pada wanita sekitar 50% androgen plasma berasal dari luar kelenjar adrenal. Meskipun demikian pada kasus hipofungsi korteks adrenal penambahan dehidroepiandrosteron (DHEA) bersama glukokortikoid dan mineralokortikoid akan memperbaiki well being dan seksualitas wanita. Pada pria androgen dari adrenal hanya sebagian kecil dari seluruh androgen plasma. Meskipun androgen adrenal tidak esensial untuk survival, kadar DHEA dan derivat sulfatnya (DHEAS) mencapai kadar puncaknya pada usia 30 tahunan dan menurun sesudahnya. Pasien dengan penyakit kronis pun mempunyai kadar yang sangat rendah, sehingga muncul hipotesa bahwa pemberian DHEA mungkin akan mengurangi akibat buruk proses penuaan. Meskipun data belum mendukung, saat ini DHEA banyak dijual sebagai suplemen pangan dengan tujuan mempengaruhi proses penuaan.
Dalam korteks adrenal kortikosteroid tidak disimpan sehingga harus disintesis terus menerus. Bila biosintesis berhenti, meskipun hanya untuk beberapa menit saja, jumlah yang tersedia dalam kelenjar adrenal tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan normal. Oleh karenanya kecepatan biosintesisnya disesuaikan dengan kecepatan sekresinya. Tabel 32-1 menunjukkan kecepatan sekresi dan kadar plasma kortikosteroid terpenting pada manusia.
Tabel 32-1 Kecepatan Sekresi dan Kadar Plasma Kortikosteroid Utama Pada Manusia
Kecepatan sekresi dalam keadaan optimal (mg/hari)
|
Kadar plasma (µɡ/100mL)
| ||
Jam 8:00
|
Jam 16 : 00
| ||
Kortisol
|
20
|
16
|
4
|
Aldosteron
|
0,125
|
0,01
|
-
|
2.2 PENGATURAN SEKRESI
Fungsi sekresi korteks adrenal sangat dipengaruhi oleh ACTH. Sistem saraf tidak mempunyai pengaruh langsung terhadap fungsi sekresi korteks adrenal. Ini terbukti pada percobaan transplantasi kelenjar adrenal dimana fungsi sekresinya tetap normal.
Akibat pengaruh ACTH, zona fasikulata korteks adrenal akan mensekresi kortisol dan kortikosteron. Bila kadar kedua hormon tersebut dalam darah meningkat, terutama kortisol, maka akan terjadi penghambatan sekresi ACTH. Keadaan tersebut tidak berlaku untuk aldosteron, yang disekresikan oleh zona glumerulosa. Peninggian kadar aldosteron dalam darah tidak menyebabkan penghambatan sekresi ACTH.
Sekresi aldosteron terutama dipengaruhi oleh sistem renin angiotensin dalam darah. Angiotensin II merupakan oktapeptida yang dibentuk dari dekapeptida yaitu angiotensin I (berasal dari globulin plasma). Reaksi yang terakhir ini dikatalisis oleh converting enzyme dalam paru-paru. Untuk perubahan ini dibutuhkan renin yang dihasilkan ooleh ginjal. Pengeluaran renin ini diatur oleh tekanan perfusi ginjal dan sistem saraf yang mekanismenya belum jelas. Penghambatan sekresi renin tidak dipengaruhi oleh kadarnya dalam darah tetapi oleh volume darah.
Adanya regulasi sekresi kortisol dan aldosteron yang terpisah, dapat dilihat pada pasien edema, dimana ekskresi metabolit kortisol normal, sedangkan metabolit aldosteron meningkat.
2.3 MEKANISME KERJA
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi pasif. Hanya dijaringan target hormon ini bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma sel dan membentuk kompleks reseptor-steroid. Kompleks ini mengalami perubahan konfirmasi, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifi. Induksi sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini yang akan menghasilkan efek fisiologik steroid.
Pada beberapa jaringan, misalnya hepar, hormon steroid merangsang transkripsi dan sintesis protein spesifik; pada jaringan lain, misalnya sell limfoid dan fibroblas hormon steroid merangsang sintesis protein yang sifatnya menghambat atau toksik terhadap sel-sel limfoid, hal ini menimbulkan efek katabolik.
2.4 FAAL DAN FARMAKODINAMIK
Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein dan lemak; dan mempengaruhi juga fungsi sistem kardiovaskular, ginjal , otot lurik, sistem saraf dan organ lain. Korteks adrenal berfungsi homeostatik, artinya penting bagi organisme untuk dapat mempertahankan diri dalam menghadapi perubahan lingkungan. Dengan demikian, hewan tanpa korteks adrenal hanya dapat hidup apabila diberikan makanan yang cukup dan teratur, NaCl dalam jumlah cukup banyak dan temperatur sekitarnya dipertahankan dalam batas-batas tertentu. Fungsi kortikosteroid penting untuk kelangsungan hidup organisme.
Efek kortikosteroid kebanyakan berhubungan dengan besarnya dosis, makin besar dosis terapi makin besar efek yang didapat. Tetapi disamping itu juga ada keterkaitan kerja kortikosteroid dengan hormon hormon lain. Peran kortikosteroid dalam kerjasama ini disebut permissive effects yaitu kortikosteroid diperlukan supaya terjadi suatu efek hormon lain, diduga mekanismenya adalah melalui pengaruh steroid terhadap pembentukan protein yang mengubah respons jaringan terhadap hormon lain. Misalnya otot polos bronkus tidak akan berespons terhadap katekolamin bila tak ada kortikosteroid, dan pemberian kortikosteroid dosis fisiologis akan mengembalikan respons tersebut. Begitu pula efek lipolitik katekolamin, ACTH, hormon pertumbuhan pada sel lemak akan menghilang bila tak ada kortikosteroid.
Suatu dosis kortikosteroid dapat memberikan efek fisiologik atau farmakologik, tergantung keadaan sekitar, dan aktivitas individu. Misalnya, hewan tanpa kelenjar adrenal yang berada dalam keadaan optimal hanya membutuhkan kortikosteroid dosis kecil untuk dapat mempertahankan hidupnya. Tetapi bila keadaan sekitarnya tidak optimal, maka dibutuhkan dosis obat yang lebih tinggi untuk mempertahankan hidupnya. Bila dosis obat yang relatif tinggi ini diberikan berulang kali pada hewan yang sama dalam keadaan optimal, akan terjadi hiperkortisisme, yaitu gejala kelebihan kortikosteroid. Diduga, adanya variasi aktivitas sekresi kortikosteroid pada orang normal menunjukkan adanya variasi kebutuhan organisme akan hormon tersebut.
Meskipun kortikosteroid mempunyai berbagai macam aktivitas biologik, umumnya potensi sediaan alamiah maupun yang sintetik, ditentukan oleh besarnya efek retensi natrium dan penyimpanan glikogen di hepar atau besarnya khasiat anti inflamasinya. Pada tabel 32-2 dapat dilihat perbandingan potensi relatif beberapa kortikosteroid, berdasarkan ketiga hal di atas. Perlu diingat bahwa nilai-nilai tersebut bukanlah merupakan rasio yang tetap, tetapi tergantung cara peneraan hayati yang digunakan. Potensi steroid untuk mempertahankan hewan tanpa adrenal agar tetap berada dalam keadaan seha, dan untuk meretensi natrium nilainya hampir sama. Pengaruhnya pada penyimpanan glikogen hepar, efek antiinflamasi, efek pada kapasitas kerja hepar, efek anti-inflamasi, efek pada kapasitas kerja otot lurik, dan pada jaringan limfoid, hampir sejajar.
Tabel 32-2. Perbandingan Potensi Relatif dan Dosis Ekuivalen Beberapa Sediaan Kortikosteroid
Kortikosteroid
|
Potensi
|
Lama Kerja
|
Dosis Ekivalen (mg)*
| |
Retensi Natrium
|
Anti-inflamasi
| |||
Kortisol (hidrokortison)
|
1
|
1
|
S
|
20
|
Kortison
|
0,8
|
0,8
|
S
|
25
|
Kortikosteron
|
15
|
0,35
|
S
|
-
|
6-α-metilprednisolon
|
0,5
|
5
|
I
|
4
|
Fludokortison (mineralokortikoid)
|
125
|
10
|
I
|
-
|
Prednison
|
0,8
|
4
|
I
|
5
|
Prednisolon
|
0,8
|
4
|
I
|
5
|
Triamsinolon
|
0
|
5
|
I
|
4
|
Parametason
|
0
|
10
|
L
|
2
|
Betametason
|
0
|
25
|
L
|
0,75
|
Deksametason
|
0
|
25
|
L
|
0,75
|
Ket :
*hanya berlaku untuk pemberian oral atau IV
S = Kerja Singkat (t ½ blokir 8-12 jam)
I = Intermediate, kerja sedang (t ½ biologik 12-36 jam)
L = Kerja lama (t ½ biologik 36-72 jam)
Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan besar yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Efek utama glukokortikoid ialah pada penyimpanan glikogen hepar dan efek anti-inflamasi, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil. Prototip untuk golongan ini ialah kortisol. Sebaliknya mineralokortikoid efek utamanya adalah terhadap keseimbangan air dan elektrolit, sedangkan pengaruhnya pada penyimpanan glikogen hepar sangat kecil. Prototip golongan ini ialah desoksikortikosteron. Umumnya golongan mineralokortikoid tidak mempunyai khasiat anti-inflamasi yang berarti, kecuali 9 α-fluorokortisol. Meskipun demikian sediaan ini tidak pernah digunakan sebagai obat anti-inflamasi karena efeknya pada keseimbangan air dan elektrolit terlalu besar.
Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi tiga golongan berdasarkan masa kerjanya. Tabel 32-2 menunjukkan penggolongan kortikosteroid berdasarkan masa kerja masin-masing sediaan sesuai dengan aktivitas biologisnya.
Sediaan kerja singkat mempunyai masa paruh biologis kurang dari 12 jam, sediaan kerja lama masa paruhnya lebih dari 36 jam, sedangkan yang kerja sedang mempunyai masa paruh antara 12-36 jam.
Pengaruh kortikosteroid terhadap fungsi dan organ tubuh ialah sebagai berikut :
Metabolisme Karbohidrat dan Protein
Pengaruh kortikosteroid pada metabolisme karbohidrat terlihat pada hewan yang di adrenalektomi. Hewan ini hanya dapat bertahan hidup, tanpa penurunan kadar glukosa darah dan glikogen hepar., bila diberi makanan cukup. Bila hewan tersebut dipuaskan sebentar saja maka cadangan karbohidrat berkurang dengan cepat. Glikogen hepar dan otot akan berkurang, timbul timbul hipoglikemia serta peningkatan sensitivitas terhadap insulin. Gambaran gangguan metabolisme karbohidrat ini mirip dengan gejala yang dijumpai pada pasien Addison. Pemberian glukokortikoid, misalnya kortisol, dapat memperbaiki keadaan diatas; cadangan glikogen terutama di hepar bertambah, glukosa darah tetap normal pada keadaan puasa, dan sensitivitas terhadap insulin kembali normal. Peningkatan produksi glukosa ini diikuti oleh bertambahanya ekskresi nitrogen. Hal ini menunjukkan terjadinya katabolisme protein menjadi karbohidrat. Perubahan diatas terjadi pada seseorang yang diberi kortikosteroid dosis besar untuk waktu lama, yang dapat menimbulkan gejala seperti diabetes mellitus. Pada keadaan tersebut glukosa darah cenderung meninggi, resistensi terhadap insulin meninggi, toleransi terhadap glukosa menurun dan mungkin terjadi glukosuria.
Glukokortikoid meningkatkan kadar glukosa darah sehingga merangsang penglepasan insulin dan menghambat masuknya glukosa kedalam sel otot. Glukokortikoid juga merangsang lipase yang sensitif dan menyebabkan lipolisis. Peningkatan kadar insulin merangsang lipogenesis dan sedikit menghambat lipolisis sehingga hasil akhirnya adalah peningkatan deposit lemak, peningkatan penglepasan asam lemak dan gliserol. Efek ini paling nyata pada kondisi puasa, dimana kadar glukosa otak dipertahankan dengan cara glukoneogenesis, katabolisme protein otot melepas asam amino, perangsangan lipolisis dan hambatan ambilan glukosa di jaringan perifer.
Hormon ini menyebabkan glukoneogenesis di perifer dan di hepar. Di perifer steroid mempunyai efek katabolik. Efek katabolik inilah yang menyebabkan terjadinya atrofi jaringan limfoid, pengurangan masa jaringan otot, terjadi osteoporosis tulang (pengurangan matriks protein tulang yang diikuti oleh pengeluaran kalsium), penipisan kulit , dan keseimbanga nitrogen menjadi negatif. Asam amino tersebut dibawa ke hepar dan digunakan sebagai substrat enzim yang berperan dalam produksi glukosa dan glikogen.
Dalam hepar glukokortikoid merangsang sintesis enzim yang berperan dalam proses glukoneogenesis dan metabolism asam amino, antara lain peningkatan enzim fosfoenolpiruvat-karboksikinase, fruktosa-1,6-difosfatase, dan glukosa 6-fosfatase, glikogen sintase yang mengkatalisis sintesis glukosa. Rangsangan sintesis enzim ini tidak timbul dengan segera, tetapi membutuhkan waktu beberapa jam . efek yang lebih cepat timbulnya ialah pengaruh hormon terhadap mitokondria hepar, yaitu terjadi sintesis piruvat karboksilase sebagai katalisator pembentukan oksaloasetat. Ini merupakan reaksi permulaan sintesis glukosa dari piruvat.
Penggunaan glukokortikoid untuk jangka lama dapat menyebabkan peningkata glucagon plasma yang dapat merangsan glukoneogenesis. Keadaan ini dapat pula merupakan salah satu penyebab bertambahnya sintesis glukosa. Peningkata penyimpanan glikogen di hepar setelah pemberian glukokortikoid diduga akibat aktivasi glikogen sintase di hepar.
Metabolisme Lemak
Pada penggunaan glukokortikoid dosis besar jangka panjang atau pada sindrom Cushing, terjadi gangguan distribusi lemak tubuh yang khas. Lemak akan terkumpul secara berlebihan pada depot lemak; leher bagian belakang (buffalo hump), daerah supraklavikula dan daerah ekstremitas akan menghilang. Salah satu hipotesi yang menerangkan keadaan diatas ialah sebagai berikut: kadar insulin meningkat akibat hiperglikemia yang ditimbulkan glukokortikoid, insulin ini mempunyai efek lipogenik dan antilipolitik pada jaringan lemak di batang tubuh sehingga lemak terkumpul di tempat-tempata yang disebut tadi. Sedangkan sel lemak di ekstremitas kurang sensitif terhadap insulin dan lebih sensitif terhadap efek lipolitik hormon lain (epinefrin, noreepinefrin, hormon pertumbuhan) yang diinduksi oleh glukokortikoid.
Kesimbangan Air dan Elektrolit
Mineralokortikoid dapat meningkatkan reabsorpsi Na+ serta ekskresi K+ dan H+ di tubuli distal. Dengan dasar mekanisme inilah, pada hiperkortisisime terjadi kedaan sebaliknya: hiponatremia, hiperkalemia, volume cairan ekstrasel berkurang dan hidrasi sel.
Terjadinya pengeluaran Na+ yang berlebihan melalui ginjal pada insufisiensi adrenal dapat diterangkan sebagai berikut: pada keadaan normal dengan diet normal, hamper seluruh Na+ yang difiltrasi glomerulus (±99,5%) akan direabsorpsi oleh tubuli ginjal; jumlah ini diperlukan untuk mempertahan keseimbangan Na+ dan identik dengan 24.000 mEq Na+. Pada infusiensi adrenal (misalnya pasien penyakit Addison), dengan diet yang sama tadi, reabsorpsi maksimal hanya mencapai 98,5%. Adanya kekurangan reabsorpsi Na+ sebanyak 1% pada pasien penyakit Addison, berarti kira-kira 240 mEq Na+ per hari akan hilang melalui ginjal. Menurut perhitungan Na+ yang hilang ini berada pada 1,7 liter cairan ekstrasel. Ternyata jumlah cairan yang ditarik oleh Na+ keluar kurang dari 1,7 liter. Jadi Na+ yang keluar lebih banyak daripada air, maka cairan ekstrasel akan menjadi hipoosmotik dan air dari ekstrasel akan masuk ke intrasel sehingga terjadi hidrasi sel. Hematokrit meninggi, bukan saja akibat pengurangan volume plasma tetapi juga karena pembengkakan eritrosit. Hiperkalemia dan kecenderungan timbulnya asidosis disebabkan gangguan ekskresi K+ dan H+. gangguan keseimbangan air dan elektrolit ini selanjutnya dapat menyebabkan gangguan sistem kardiovaskular yang diakhiri dengan kolaps dan kematian apabila tidak diberikan mineralokortikoid atau NaCl atau kedua-duanya.
Pada insufisiensi adrenal ini tidak hanya ginjal yang mengeluarkan cairan dengan kadar Na+ yang abnormal tinggi dan K+ yang rendah, tetapi juga kelenjar saliva, kelenjar keringat, kelenjar esokrin pancreas, dan mukosa saluran cerna . pengeluaran cairan yang banyak menganding Na+ pada pasien penyakit Addison, dapat menjadi salah satu penyebab keseimbangan Na+ yang negatif.
Aldosteron merupakan mineralokortikoid alam yang paling kuat. Pemberian 10 μg aldosteron per hari pada hewan tanpa kelenjar adrenal dapat mempertahankan kadar plasma Na+ dan K+, dan tekanan darah dalam batas-batas normal. Sedangkan untuk kortisol, dosis yang dibutuhkan untuk keadaan diatas lebih besar, sekitar 5.000 μg. Peranan aldosteron dalam mengatur keseimbangan Na+ dan K+ plasma, dibuktikan dengan adanya keseimbangan elektrolit yang relatif normal pada hewan yang mengalami hipofisektomi. Keseimbangan ini dipertahankan oleh aldosteron yang tetap disekresikan oleh korteks adrenal.
Satu jam setelah pemberian aldosteron IV pada orang normal atau pada pasien penyakit Addison, akan terjadi penurunan ekskresi Na+ melalui ginjal dan sebaliknya ekskresi K+ dan H+ akan meningkat. Apabila diberikan dosis aldosteron yang cukup besar dan terus menerus selama 2 atau 3 hari, ternyata ekskresi Na+ seimbang lagi dengan pemasukkan Na+, tetapi ekskresi K+ dan H+ akan tetap tinggi sehingga akhirnya timbul alkalosis-hipokalemik-hipokloremik. Keadaan ini dikenal sebagai escape phenomenon dari resistensi Na+. Sebab dan mekanisme terjadinya fenomena ini belum jelas, tetapi hal ini bukan merupakan akibat supresi sistem renin-angiotensin.
Efek aldosteron dalam jumlah berlebihan dan berlangsung terus menerus dapat dilihat pada sindrom Conn (aldosteronisme primer). Keseimbangan Na+ biasanya normal dan Na+ dalam plasma biasanya normal atau sedikit meningkat. Ekskresi terjadi walaupun telah hipokalemia, dan ini menyebabkan kelemahan otot. Karena ekskresi ion juga berlebihan, terjadilah alkalosis metabolik. Adanya hipokalemia serta gangguan keseimbangan air dan elektrolit, menyebabkan ginjal tidak sanggup memekatkan urin.
Pada penyakit dengan kecenderungan edema, misalnya sirosis, hepatitis, dan nefrosis, sering sekresi aldosteron meningkat. Dalam hal ini kelenjar adrenal bukan merupakan sebab utama, maka keadaan ini disebut aldosteronisme sekunder. Terjadinya eema disini mungkin akibat kompensasi terhadap pengurangan volume cairan dalam arteri. Berkurangnya alairan darah ke ginjal akan menyebabkan bertambahnya sekresi renin dan angiotensin yang akan merangsang sekresi aldosteron. Pada keadaan ini retensi Na+ tetap ada, dan tidak terjadi escape phenomenon seperti pada aldosteronisme primer, sedangkan ekskresi K+ tetap normal.
Kortisol dapat menyebabkan retensi Na+ dan meningkatkan ekskresi K+, tetapi efek ini jauh lebih kecil daripada aldosteron, oleh karena itu penggunaan kortisol dalam waktu singkat biasanya tidak menambah sekresi asam. Berlawanan dengan aldosteron, kortisol pada keadaaan tertentu dapat meningkatkan ekskresi Na+; hal ini mungkin disebabkan karena hormon tersebut mungkin dapat menambah kecepatan filtrasi glomeruli . Selain itu kortisol juga dapat meningkatkan sekresi tubuli ginjal.
Hiperkortisisme akibat sekresi kortisol berlebihan atau karena pemberian kortisol dosis besar terus menerus, sesekali menyebabkan alkalosis hipokloremik yang tidak berat. Keadaan ini menunjukkan bahwa efek kortisol terhadap keseimbangan air dan elektrolit tidak sekuat aldosteron. Kelemahan otot yang timbul pada keadaan ini disebabkan oleh berkurangnya massa jaringan otot, jadi bukan karena kehilangan K+.
Sistem Kardiovaskular
Gangguan sistem kardiovaskular yang timbul pada insufisiensi adrenal atau pada hiperkortisisme sebenarnya sangat kompleks dan belum semua diketahui dengan jelas.
Kortikosteroid dapat mempengaruhi sistem kardiovaskular secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh tidak langsung ialah terhadap keseimbangan air dan elektrolit; misalnya pada hiperkortisisme, terjadi pengurangan volume yang diikuti peningkatan viskositas darah. Bila keadaan ini didiamkan akan timbul hipotensi dan akhirnya kolaps kardiovaskular. Pengaruh langsung steroid terhadap sistem kardiovaskular antara lain pada kapiler, arteriol, dan miokard.
Defisiensi kortikosteroid dapat menyebabkan hal-hal sebagai berikut : permeabilitas dinding kapiler meningkat, respons vasomotor pembuluh darah kecil berkurang, fungsi jantung menurun dan curah jantung menurun, sehingga pasien harus dimonitor untuk gejala atau tanda-tanda edema paru. Pada hewan yang diadrenalketomi, pembuluh darah kecil akan kehilangan tonus vasomotornya. Pemeberian epinefrin dan norepinefrin berulang-ulang dapat menimbulkan kerusakan pembuluh darah kecil, yang dapat dicegah dengan pemberian kortikosteroid.
Pada aldosteronisme primer dimana sekresi aldosteron berlebihan, efek mineralokortikoid terlihat jelas. Gejala yang mencolok ialah hipertensi dan hipokalemia. Diduga hipokalemia ini disebabkan oleh efek langsung aldosteron pada ginjal, sedangkan mekanisme terjadinya hipertensi belum jelas; hanya diketahui bahwa untuk menimbulkan keadaan ini dibutuhkan mineralokortikoid dosis besar untuk waktu lama dan asupan Na+ yang berlebihan dan berlangsung lama yang dapat menimbulkan edema di antara dinding arteriol, akibatnya diameter lumen berkurang dan resistensi pembuluh perifer akan bertambah. Kemungkinan lain ialah bahwa retensi garam atau mineralokortikoid itu sendiri menyebabkan pembuluh darah menjadi lebih sensitif terhadap senyawa yang dapat meningkatkan tekanan darah, terutama angiotensin dan katekolamin. Pada sindrom Cushing, peningkatan substrat renin dapat berperan dalam peningkatan tekanan darah.
Otot Rangka
Untuk mempertahankan otot rangka agar dapat berfungsi dengan baik, dibutuhkan kortikosteroid dalam jumlah cukup. Tetapi apabila hormon ini berlebihan, timbul gangguan fungsi otot rangka tersebut.
Pada insufisiensi adrenal atau pasien penyakit Addison, terjadi penurunan kapasitas kerja otot rangka sehingga mudah timbul keluhan cepat lelah dan lemah. Disfungsi otot ini terutama disebabkan gangguan sirkulasi, sedangkan gangguan metabolism karbohidrat dan keseimbangan elektrolit merupakan factor yang tidak besar peranannya. Hal ini terbukti dengan menetapnya gangguan fungsi otot meskipun kadar elektrolit dan glukosa normal.pada keadaan ini terjadi kerusakan otot maupun sambungan saraf otot. Pemberian transfuse atau kortisol dapat mengembalikan kapasitas kerja otot.
Kelemahan otot pada pasien aldosteronisme primer, terutama karena adanya hipokalemia. Pada pasien sindrom Cushing atau pemberian glukokortikoid dosis besar untuk waktu lama wasting otot rangka yaitu pengurangan massa otot. Mekanisme miopati pada pemakaian glukokortikoid, diduga disebabkan oleh efek katabolik dan antianaboliknya pada protein otot yang disertai hilangnya masa otot, penghambatan aktivitas fosforilase dan adnya akumulasi kalsium otot yang menyebabkan penekanan fungsi mitokondria.
SUSUNAN SARAF PUSAT
Kostikosteroid dapat mempengaruhi susunan saraf pusat baik secara tidak langsung maupun langsung, meskipun hal yang terakhir ini belum dapat dipastikan. Pengaruh tidak langsung disebabkan efeknya pada metabolisme karbohidrat, sistem sirkulasi dan keseimbangan elektrolit. Adanya efek steroid pada susunan saraf pusat ini dapat dilihat dari timbulnya perubahan mood, tingkah laku, EEG dan kepekaan otak pada mereka yang sedang menggunakan kostikosteroid terutama untik waktu yang lama atau pada pasien penyakit addison.
Pasien penyakit addison dapat menunjukan gejala apatis, depresi dan capat tersinggung bahkan psikosis. Gejala tersebut dapat diatasi dengan kortisol. Penggunaan glukokortikol untuk waktu yang lama dapat menimbulkan serangkaian reaksi yang berbeda-beda. Sebagian besar mengalami perbaikan semangat (mood) yang mungkin disebabkan hilangnya gejala penyakit yang sedang diobati, yang lain memperhatikan keadaan euforia, insomnia, kegelisahan dan peningkatan aktivitas motorik, kortikol juga dapat menyebabkan depresi.
Pada hiperkortisme umumnya terjadi peningkatan kepekaan jaringan saraf, nampaknya perubahn tersebut berhubungan dengan perubahan kadar elektrolit diotak. Sebaliknya pemberian kortisol dapat meningkatkan kepekaan otak tanpa mempengaruhi kadar Na+ dan K+ otak. Pada insufisiensi adrenal dapat terjadi penurunan ambang rangsang untuk persepsi rasa, bau dan bunyi. Pada hiperkortisisme terjadi keadaan sebaliknya. Perubahan ambang rangsang ini dapat diatasi dengan kortisol. Glukokortikoid dosis tinggi dalam waktu lama dapat menimbulkan gejala pseudotumor cerebri karena tekanan intrakranial yang meningkat,
ELEMEN PEMBENTUKAN DARAH
Glukokortikoid dapat meningkatkan kadar hemoglobin dan jumlah sel darah merah, hal ini terbukti dari seringnya timbul polisitemia pada sindrom cushing. Sebaliknya pasien penyakit addison dapat mengalami anemia normokromik, normositik ringan.
Glukokortikoid juga dapat meningkatkan jumlah leukosit polimorfonuklear, karena mempercepat masuknya sel-sel tersebut kedalam darah dari sumsum tulang dan mengurangi kecepatan berpindahnya sel dari sirkulasi. Sebaliknya jumlah sel limfosit, eosofil, monosit dan basofil dalam darah dapat menurun sesudah pemberian glukokortikoid. Penurunan limfosit, monosit, dan eosinofil tampaknya lebih banyak disebabkan karena retribusi el dari pada akibat destruksi sel.
EFEK ANTI INFLAMASI
Kortisol dan analog sintetik dapat mencegah atau menekan timbulnya gejala inflamasi akibat radiasi, infeksi zat kimia, mekanik atau alergen. Gejala ini umumnya berupa kemerahan, rasa sakit dan panas,pembengkakan ditempat radang. Secara mikroskopik obat ini menghambat manifestasi inflamasi dini yaitu edema, deposit fibrin, dilatasi kapiler, migrasi leukosit ketempat radang dan aktifitas fagositosis.
Penggunaan klinik kortikosteroid sebagai anti inflamasi merupakan terapi paliatif, yaitu hanya gejalanya yang dihambat sedangkan penyebab penyakit tetap ada. Karena gejala inflamasi ini sering digunakan sebagai dasar avaluasi terapi inflamasi, maka pada penggunaan glukokortiroid kadang-kadang terjadi masking effeck, dari luar penyakit nampaknya sudah sembuh tetapi infeksi didalam masih terus menjalar. Konsep terbaru memperkirakan bahwa efek imunosuspresan dan anti inflamasi yang selama ini dianggap sebagai efek farmakologi kortikosteroid sesungguhnya secara fisiologis pun merupakan mekanisme protektif.
JARINGAN LIMFOID DAN SISTEM IMUNOLOGI
Pada insufisiensi korteks adrenal terjadi peningkatan massa jaringan limfoid dan limfositosis, pasien sindrom cushing menunjukan limfositopenia dan massa jaringan limfoid berkurang. Meskipun pada manusia glukokortikoid tidak menyebabkan lisis jaringan limfoid yang masif, golongan obat ini dapat mengurangi jumlah sel pada leukimia limfoblastik akut dan beberapa keganasan sel limfosit. Kortikosteroid bukan hanya mengurangi jumlah limfosit tetapi juga respons imunnya.
Glukokortikoid dan ACTH dapat mengatasi gejala klinik hipersensitifitas. Belum dapat dipastikan apakah dosis terapi kortikosteroid mempunyai efek yang berarti titer antibodi lgG atau lgE yang berperan aktif pada reaksi alergi atau reaksi autoimun.
PERTUMBUHAN
Penggunaan glukokortikoid pada anak dalam waktu yang lama, dapat menghambat pertumbuhan , karena efek antagonisnya terhadap kerja hormon pertumbuhan diperifer. Eek ini berhubungan dengan besarnya dosis yang dipakai. Pada beberapa jaringan, terutama diotot dan tulang, glukokortiroid menghambat sintesis dan menambah degradasi protein dan RNA. Hal ini lah yang menyababkan kegagalan fungsi hormon pertumbuhan bila digunakan bersama-sama kortikosteroid. Meskipun demikian pada beberapa pasien yang diobati untuk jangka lama tinggi badan normal juga tidak dicapai.
Penghambatan pertumbuhan pada pemakaian kortikosteroid disebabkan oleh kombinasi berbagai faktor, hambatan somatomedin oleh hormon pertumbuhan, hambatan sekresi hormon pertumbuhan berkurangnya proliferasi sel di kartilago epifisis dan hambatan aktifitas osteoblas ditulang.
FARMAKOKINETIK
Kortisol dan analog sintetiknya pada pemberian oral diabsorbsi cukup baik. Untuk mendapatkan efek yang lama kortisol dan esternya diberikan secara IM. Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorbsi, mulai kerja dan lama kerja karena juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor, dan ikatan protein. Predison adalah produg yang dengan cepat diubah menjadi prednisolon bentuk aktifnya dalam tubuh. glukokortikoid dapat diabsorbsi melalui kulit sakus konjungtiva dan ruang sinovial. Penggunaan jangka panjang ayau pada daerah kulit yang luas dapat menyebabkan efek sistemik, antara lain supresi korteks adrenal.
Pada keadaan normal, 90% kortosol trikat pada 2 jenis protein plasma yaitu globulin pengikat kortikosteroid dan albumin. Anfinitas globulin tinggi tetapi kapasitas ikatan rendah, sebaliknya afinitas albumin rendah tetapi kapasitas ikatannya relatif tinggi. Karena itu pada kadar rendah atau normal sebagian besar kortikosteroid terikat globulin. Bila kadar kortikosteroid meningkat jumlah hormon yang terikat albumin dan bebas juga meningkat, sedangkan yang terikat globulin sedikt mengalami perubahan. Kortikosteroid berkompetisi sesamanya untuk berikatan dengan globulin pengikat kortikosteroid. Kortisol mempunyai afinitas tinggi sedangkan metabolit yang terkonyugasi dengan asam glukoronat dan aldoteron afinitasnya rendah.
Kehamilan atau penggunaan estrogen dapat meningkatkan kadar globulin pengikat kortikosteroid, kortisol plasma total dan kortisol bebas sampai beberapa kali. Telah diketahui bahwa hal ini tidak terlalu bermakna dalam tubuh. Biotransformasi steroid terjadi didalam dan diluar hati. Metabolitnya merupakan senyawa inaktif atau berpotensi rendah. Perubahan gugus keton menjadi gugus hidroksil hanya terjadi di hati. Sebagian besar hasil reduksi gugus keton pada atom C3 melalui gugus hidroksinya secara enzimatik bergabung dengan asam sulfat atau asam glukoronat membentuk ester yang mudah larut dan kemudian diekresi . reaksi ini terutama terjadi di hepar dan sebagian keci di ginjal. Setelah penyuntikan IV steroid radioaktif sebagian besar dalam waktu 72 jam diekresi dala urin, sedangkan di fases dan empedu hampir tidak ada. Diperkirakan paling sedikit 70% kortisol yang diekresi mengalami metabolisme di hapar. Masa paruh eliminasi kortisol sekitar 1,5 jam. Adanya ikatan rangkap atom C 1-2 atau subtitusi atom fluor memperlambat proses metabolisme dan karenanya dapat memperpanjang massa paruh eliminasi.
2.6 STRUKTUR KIMIA dan AKTIVITAS
Perubahan struktur kimia menyebabkan perubahan aktivitas biologis secara spesifik. Perubahan ini mungkin terjadi pada tempat-tempat sebagai berikut (gambar 32-3) :
Cincin A : Ikatan rangkap C4-5 dan gugus keton pada atom C3 diperlukan untuk aktivitas adrenokortikosteroid yang spesifik. Adanya ikatan rangkap pada C1-2 (misalnya pada prednisolon atau prednison) memperbesar rasio potensi regulasi karbohidrat terhadap potensi retensi Na+ karena secara selektif memperbesar potensi yang pertama. Prednisolon dimetabolisme lebih lambat daripada kortisol.
Cincin B : metilasi 6-α pada kortisol memperbesar efek anti-inflamasi, pengeluaran nitrogen (nitrogen wasting) dan retensi Na. Sebaliknya 6-α-metilprednisolin, mempunyai potensi anti-inflamasi sedikit lebih besar dan potensi regulasi elektrolit lebih kecil daripada prednisolon. Fluorinasi pada atom C9, misalnya 9-α-fluorokortisol, menambah semua aktivitas biologic kortikosteroid.
Cincin C : adanya atom O pada C11 diperlukan untuk efek anti-inflamasi dan regulasi karbohidrat, dan ini terlihat bila kortisol dibandingkan dengan 11-desoksikortisol. Namun untuk potensi retensi Na+ hal ini tidak diperlukan, misalnya terlihat pada desoksikortikosteron. Oksidasi 11-β-hidroksi menjadi 11-keto menyebabkan pengurangan aktivitas yang nyata, misalnya bila kortisol dibandingkan dengan kortison.
Cincin D : metilasi atau hidroksilasi pada atom C16 menyebabkan penurunan retensi Na+ yang nyata, tetapi hanya sedikit mempengaruh efek metabolisme dan anti-inflamasi. Substitusi seperti ini terdapat pada kortikosteroid yang efeknya kuat, misalnya parametason, triamsinolon, betametason, dan deksametason. Semua steroid yang banyak digunakan sebagai obat anti-inflamasi memiliki substitusi hidroksi pada C17. Semua kortikosteroid alam dan analog sintetik yang aktif memiliki gugus hidroksi pada atom C21, yang diperlukan untuk efek retensi Na, 21-desoksikortisol tidak mempunyai aktivitas biologic yang berarti.
2.7 INDIKASI
Kecuali untuk terapi substitusi pada defisiensi, penggunaan kortikosteroid pada awalnya lebih banyak bersifat empiris. Dari pengalaman klinis dapat diajukan minimal 6 prinsip terapi yang perlu diperhatikan sebelum obat ini digunakan.:
1. Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus ditetapkan dengan trial and error, dan harus dievaluasi dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan penyakit
2. Suatu dosis tunggal besar kortikosteroid umumnya tidak berbahaya
3. Penggunaan kortikosteroid untu beberapa hari tanpa adanya kontraindikasi spesifik, tidak membahayakanecuali dengan dosis yang sangat besar.
4. Bila pengobatan diperpanjang sampai 2 minggu atau lebih hingga dosis melebihi dosis substitusi, insiden efek samping dan efek letal potensial akan bertambah; dosis ekivalen hidrokortisol 100 mg/hari lebih dari dua minggu hampir selalu menimbulkan iatrogenic cushing syndrome. Bila terpaksa pasien harus juga diberi diet tinggi protein dan kalium. Awasi dan sadari risiko pengaruhnya terhadap metabolism, terutama bila gejala terkait telah muncul misalnya diabetes yang resisten insulin, osteoporosis, lambatnya penyembuhan luka
5. Kecuali untuk insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid buan merupakan terapi kausal ataupun kuratif tetapi hanya bersifat paliatif karena efek anti-inflamasinya
6. Penghentian pengobatan tiba2 pada terapi jangka panjang dengan dosis besar, mempunyai risiko insufisiensi adrenal yang hebat dan dapat mengancam jiwa pasien.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa bila kortikosteroid akan digunakan untuk jangka panjang, harus diberikan dalam dosis minimal yang masih efektif. Dosis ini ditentukan secara trial and error. Pada keadaan yang tidak mengancam jiwa pasien, misalnya untuk mengurangi nyeri pada arthritis rheumatoid, dosis awal harus kecil kemudian secara bertahap ditingkat sampai keadaan tersebut mereda dan dapat ditoleransi pasien. Kemudian dalam periode singkat dosis harus diturunkan bertahap sampai tercapai dosis minimal dimana gejala semula timbul kembali. Bila terapi bertujuan mengatasi keadaan yang dapat mengancam pasien misalnya pemfigus maka dosis awal haruslah lebih besar. Bila dalam beberapa hari belum terlihat efeknya, dosis dapat dilipatgandakan. Dalam hal ini, sebelum mengambil keputusan, dokter harus dapat mempertimbangkan antara bahaya pengobatan dan bahaya akibat penyakit sendiri.
Untuk keadaan yang tidak mengancam jiwa pasien, kortikosteroid dosis besar dapat diberikan untuk waktu singkat selama tidak ada kontraindikasi spesifik.
Besarnya dosis glukokortiroid yang dapat menyebabkansupresi hipofisis dan korteks adrenal ternyata sangat bervariasi dan belum dapat dipastikan dengan tepat. Umumnya, makin besar dosis dan makin lama waktu pengobata, makin besar kemungkinan terjadinya supresi tersebut. Untuk mengurangi resiko supresi hipofisis-adrenal ini, dapat dilakukan modifikasi cara pemberian obat, misalnya dosis tunggal selang 1 atau 2 hari, tetapi cara ini tidak dapat diterapkan untuk semua penyakit. Sediaan yang masa kerjanya panjang juga tidak dapat diberikan menurut cara ini.
TERAPI SUBSTITUSI
Pemberian kortiosteroid disini bertujuan memperbaiki kekurangan akibat insufisiensi sekresi korteks adrenal akibat gagguan fungsi atau struktur adrenal sendiri (insufisiensi primer) atau hipofisis (insufisiensi sekunder).
Insufisiensi adrenal akut
Keadaan ini umunya disebabkan oleh kelainan pada adrenal atau oleh penghentian pengobatan kortikosteroid dosis besar secara tiba-tiba.
Bila insufisiensi primer, 20-30 mg hidrokortison harus diberikan tiap hari, dinaikkan bila dalam keadaan stress. Perlu diberi juga preparat mineralokortiroid yang dapat menahan Na dan air. preparat sintesis yang kecil efek menahan airnya jangan dipakai untuk kondisi ini.
Bila yang terjadi insufisiensi akibat kortikostreroid dosis besar jangka lama yang dihentikan tiba-tiba pasien harus secepatnya diberi: air, natrium, klorida, glukosa, ortisol serta pencegahan terhadap infeksi, trauma, dan pendarahan. Gejalanya cukup berat antara lain berupa gangguan saluran cerna, dehidrasi, rasa lemah dan hipotensi. Pasien mudah mengalami intoksikasi air, karena menurunnya fungsi dieresis sehingga sering terjadi hidrasi sel. Selain pemberian larutan NaCl isotonic IV,dapat ditambahkan glukosa untuk mengatasi hipoglikemia. Jumlah cairan yang diberikan dalam waktu 24 jam pertama tidak boleh lebih dari 5% dari berat badan ideal. Pasien harus terus dimonitor karena sewaktu-waktu dapat terjadi peninggian tekanan vena dan edema paru, mengngat kapasitas kerja system kardiovaskular dapat menurun. Hidrokortison (kortisol) diberikan secara bolus IV awal 100 mg dan dilanjutkan dengan pemberian dalam cairan IV yang diberikan dengan kecepatan 100 mg tiap 8 jam sampai pasien stabil. Jumlah ini sesuai dengan sekresi kortisol maksimal per hari dalam keadaan stress. Setelah pasien stabil, dosis hidrokortison dikurangi hingga 25 mg tiap 6-8 jam. Selanjutnya pasien diperlakukan sama dengan pasien insufisiensi adrenal kronik.
Insufisiensi adrenal kronik
Kelainan akibat operasi atau lesi korteks adrenal ini dapat diatasi dengan pemberian 20-30 mg per hari dalam dosis terbagi (20 mg pada pagi hari dan 10 mg sore hari). Banyak pasien memerlukan juga mineralkortikoid fluorokortison asetat dengan dosis 0,1-0,2 mg per hari; atau cukup dengan kortison dan diet tinggi garam. Terapi tergantung dari keadaan pasien dalam rasa kesegaran badannya (well being), nafsu makan, berat badan, kekuatan otot, timbulnya pigmentasi, tekanan darah dan tidak adanya hipotensi ortostetik.
Hyperplasia adrenal kongenital
Pada penyakit turunan ini terjadi defisiensi aktivitas salah satu atau lebih enzim yang diperlukan untuk biosintesis kortikosteroid. Karena produksi kortisol dan atau aldosteron berurang dan tidak terjadi reaksi umpan negative, maka produksi hormon steroid bertambah. Dalam hal ini gejala klinik yang timbul, hasil pemeriksaan laboratorium dan terapinya, tergantung dari jenis enzim yang terganggu.
Hampir 90% pasien dengan kelainan ini mengalami penurunan aktivitas enzim 21-hidroksilase, sehingga pembentukan 21-hidroksisteroid akan terhambat. Penghambatan ini biasanya parsial, sehingga masih terbentuk glukokortikoid dan mineralokortioid yang cukup untuk mempertahankan hidup. Akibat terhambatnya pembentukan 11-desokdisortikol dari 17 α-hidroksi progesterone, reaksi biosintesis aan disalurkan ke arah pembentukan hormone androgen, akibatnya terjadi virilisasi pada ank perempuan atau timbulnya tanda-tanda seks sekunder yang lebih dini pada anak laki-laki. Pertumbuhan linier anak akan dipercepat tetapi tidak mencapai tinggi badan normal setelah dewasa karena penutupan epifise terjadi lebih cepat.
Pada tipe hipertensif, aktivitas enzim 11-hidroksilase berkurang, sedangkan pembentukan 11-desoksikortikosteron berjalan seperti biasa. Akibat berkurangnya pembentukan kortisol sekresi ACTH akan meningkat. Hal ini dapat meningkatkan sekresi desoksikortikosteron.
Semua pasien hyperplasia adrenal congenital membuttuhkan terapi substitusi kortisol, dan bila perlu juga dapat diberikan kortikosteroid yang meretensi Na+.
Insufisiensi adrenal sekunder akibat insufisiensi adenohipofisis.
Gejala utama insufusiensi adrenal ini ialah hipoglikemia, sedangkan keseimbangan air dan elektrolit normal karena sekresi aldosteron tetap normal. Terapi substitusi dengan kortisol, pagi hari 20 mg dan sore 10 mg, disesuaikan dengan siklus diurnal sekresi adrenal. Sesudah insufisiensi adrenal terkendali, dapat ditambahkan tiroid. Sebab bila langsung diberikan tiroid tanpa kortisol mungkin terjadi insufisiensi adrenal akut.
TERAPI NON-ENDROKIN
Dibawah ini dibahas bebrapa penyakit yang bukan merupakan kelainan adrenal atau hipofisis, tetapi diobati dengan glukokortikoid. Dasar pemakaian kortikosteroid disini adalah efek antiinfamasinya dan kemampuannya menekan reaksi imun. Pada penyakit yang dasarnya respon imun, obat ini bermanfaat. Pada keadaan yang perlu at penanganan reaksi radang atau reaksi imun untuk mencegah kerusakan jaringan yang parah dan menimbulkan kecacatan, penggunaan kortikosteroid mungkin berbahaya sehingga perlu disertai dengan penanganan tepat bagi penyebabnya. Yang dipakai adalah preparat kerja singkat dan kerja sedang misalnya prednisone atau prednisolon dengan dosis serendah mungkin. Kemungkinan efek samping harus terus dimonitor.
Dosis glukoortikoid yang digunakan bervariasi, sesuai dengan keadaan penyakitnya. Umumnya dianjurkan dosis prednison sebagai prototip sediaan kortikosteroid, tetapi hal ini tidak berarti bahwa obat ini mempunyai keistimewaan dibandingkan sediaan lain. Untuk membandingkan potensi sediaan lain dari golongan glukokortikoid dapat dilihat pada table 32-2.
Fungsi Paru pada Fetus
Penyempurnaan fungsi paru fetus dipengaruhi sekresi kortisol pada fetus. Pemberian kortikosteroid dosis tinggi pada ibu hamil akan membantu pematangan fungsi paru pada fetus yang akan dilahirkan premature sehingga risiko terjadinya respiratory distress syndrome, pendarahan intraventrikular dan kematian berkurang. Betametason atau deksametason selama 2 hari diberikan pada minggu ke 27-34 kehamilan. Dosis terlalu banyak akan mengganggu berat badan dan perkembangan kelenjar adrenal fetus.
Artritis
Kortiosteroid hanya diberikan pada pasien arthritis rheumatoid yang sifatnya progresif, dengan pembengkakan dan nyeri sendi yang hebat sehingga psien tidak dapat bekerja, meskipun telah diberikan istirahat, terapi fisik dan obat golongan anti-inflamasi nonsteroid. Pada awalnya diberikan prednisone 7,5 mg sehari dalam dosis terbagi, sementara itu pasien tetap istirahat dan diberikan fisioterapi serta salisilat. Dosis predniso dapat dapat ditambah sampai gejala berkurang, kemudian dipertahankan sesuai . kebutuhan dan ditentukan dosis pemeliharaan sekecil mungkin. Penyembuhan yang sempurna sulit diharapkan. Kadang-kadang diperlukan pemberian suntikan intra artikular, yakni triamsinolon asetonid 5-20 mg. untuk pasien yang sedang mengalami akut, dengan gejala lokal rasa panas, pembengkakan, disertai rasa saki di sendi, dianjurkan untuk tidak diberi steroid dengan cara ini berulang kali, karena dapat menyebabkan “artopatia Charcot”, suatu destruksi sendi tanpa rasa sakit. Penyuntikan intrasendi sebaiknya dibatasi dn jarak antar suntikan adalah 3 bulan.
Kortiosteroid sring perlu didampingi oleh obat unosupresan misalnya metrotreksat atau siklofosfamid yang dalam jangka panjang lebih bermanfaat daripada steroid saja. Karena efek samping yang berat, steroid hanya dipakai sementara dan dilanjutkan dengan metrotreksat saja atau obat baru lain yang menghambat TNF-α. Kortiosteroid yang terpilih dengan masa kerja sedang misalnya prednisone atau prednisolon, bukan deksametason yang bekerja lama. Hal ini akan mempermudah tapering off atau pengurangan dosis menjadi tiap 2 hari sekali.
Karditis reumatik
Karena belum ada bukti kortikosteroid lebih baik dari salisilat, sedangkan risiko penggunaan kortiosteroid lebih besar, maka pengobatan karditis reumatik dimulai dengan salisilat. Kortikosteroid hanya digunaan pada keadaan akut, pada pasien yang tidak menunjukkan perbaikan dengan salisilat saja, atau sebagai terapi permulaan pada pasien dalam keadaan sakit keras dengan demam, payah jantung akut, aritmia dan perikarditis. Disini diberikan prednison 40 mg sehari dalam dosis terbagi. Dianjurkan agar sesudah kortikosteroid dihentikan salisilat tetap diteruskkan, karena sering terjadi reaktivasi penyakit.
Penyakit ginjal
Kortikosteroid dapat bermanfaat pada sindrom nefrotik yang disebabkan lupus eritematosus sistemik atau penyakit ginjal primer, kecuali amiloidosis. Prednisone 60 mg sehari dalam dosis terbagi diberikan disertai peningkatan dieresis dan terjadi penurunan proteinuri, dosis pemeliharaan dapat diberikan sampai satu tahun, tetapi prednisone hanya diberika 3 hari pertama dalam setiap minggu.
Penyakit Kolagen
Pemberian dosis besar (prednisone 1-2 mg/kg atau sediaan lain yang ekuivalen) bermanfaat untuk eksaserbasi akut, sedangkan terapi jangka panjang hasilnya bervariasi. Pada polimiositis, poliartritis nodosa, poliartritis granulamatosa, dan dermatomiosis yang hebat, terapi dimulai dengan dosis besar (prednisone 1-2 mg/kg/hari) selama 2-3 bulan, kemudian dosis dapat diturunan bertahap bila telah terlihat klinis, sampai dosis minimal yang efektif (sekitar 7,5-10 mg/hari). Untuk scleroderma umumnya obat ini kurang bermanfaat. Glukokortikoid dpat menurunkan mordibitas dan memperpanjang masa hidup pasien poliartritis nodosa dan granulomatosis Wegener.
Pada beberapa pasien lupus eritematosus tertentu, terutama yang fungsi ginjalnya juga terganggu, juga pernah digunakan kombinasi glukokortikoid dan siklofosfamid.
Terapi awal dengan kortikosteroid pada polimiositis atau dermatomiositis, menyembuhkan sekitar 75-90% pasien dengan dosis prednisone 60 mg/hari atau 1 mg/kg/hari untuk dewasa dan 1-2 mg/kg/hari untuk anak. Dosis harus diturunkan bila telah terlihat adanya perbaikan.
Asma bronkial dan penyakit saluran napas lainnya. Respons asma terhadap farmakoterapi bervariasi antar individu, sehingga dapat ditemukan pasien yang resisten terhadap steroid meskipun jarang dan tidak menunjukkan hasil baik dengan inhalasi steroid. Kortikosteroid saat ini diberikan segera pada serangan akut pasien asma bronkial akut maupun bronkial kronik untuk mengatasi secara cepat reaksi radang yang ternyata selalu terjadi pada saat serangan asma. Glukokortikoid tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator. Tetapi sebagai anti inflamasi obat ini bekerja sekaligus menghambat produksi sitokin dan kemokin, menghambat sintesis eikosanoid, menghambat peningkatan basofil, eosinofil, dan leukosit lain dijaringan paru-paru dan menurunkan permeabilitas vaskular, sehingga saat ini kortikosteroid adalah obat paling efektif untuk asma bronkial. Pengobatan sistemik beresiko tinggi untuk timbulnya efek samping serius, penemuan glukokortikoid inhalasi merupakan kemajuan besar dalam terapi asma karena obat langsung sampai ke target organ sehingga sangat efektif sedangkan resiko efek samping sistemik sangat rendah.
Saat ini ada 5 preparat yang berbentuk inhalasi yaitu beklometason dipropinoat, triamsinolon asetonid, flunisolid, budesonid, flutikason propinoat. Indeks terapi semua preparat hampir tidak berbeda bila digunakan dalam dosis yang dianjurkan. Inhalasi digunakan untuk pencegahan, tetapi dibutuhkan waktu cukup lama dalam pengawasan dokter untuk mencapai keadaan berkurangnnya hiper-reaktivitas paru. Pasien yang dianggap perlu ditangani dengan terapi inhalasi kortikosteroid adalah pasien asma yang membutuhkan β2-adrenergik agonis 4 kali atau lebih dalam satu minggu. Dosis untuk tiap individu harus dicari dan dapat berbeda antar individu. Efek samping sistemik dapat terjadi bila obat tertelan, tetapi preparat terkini mengalami metabolisme lintas pertama sehingga lebih kecil kemungkinan efek sistemiknya.
Pada status asmatikus atau asma kronis yang berat, glukokortikoid dosis besar harus segera diberikan; metilprednisolon-Na-suksinat 60-100 mg setiap 6 jam dapat diberikan secara IV. Bila gejala mereda, dapat diikuti pemberian prednison oral 40-60 mg/hari. Dosis diturunkan bertahap sampai hari ke-10 terapi dapat dihentikan. Terapi nonsteroid dapat diberikan setelah keadaan mereda.
Eksaserbasi akut asma dapat dilatasi dengan prednison 30 mg, 2 kali sehari selama 5 hari kemudian bila masih perlu terapi dapat diperpanjang dengan dosis yang lebih rendah. Bila pemberian obat anti-asma lain memberikan respons baik, kortikosteroid dapat dihentikan dengan cara yang benar. Gejala supresi fungsi adrenal dapat timbul dalam waktu 1-2 minggu, tergantung besar dosis. Saat ini hampir semua asma dapat diatasi dengan inhalasi kortikosteroid.
Pasien yang sedang menggunakan glukokortikoid oral harus menurunkan dosis secara bertahap, bila akan memulai inhalasi beklometason. Inhalasi ini sering menyebabkan kandiasis oofarings tanpa gejala, pencegahan diupayakan dengan berkumur setiap kali pemakaian.
Resiko efek samping yang ditakuti misalnya penekanan sumbu hipotalamus-hipofisa-korteks adrenal tidak bermakna pada dosis budesonid atau beklometason <1500 µg/hari pada dewasa dan <400 µg/hari pada anak. Begitu pula gangguan metabolisme karbohidrat dan lipid tak nyata pada beklometason <1000 µg/hari. Purpura atau penipisan kulit dapat terjadi dan terkait dengan dosis pemakaian beklometasom 400-2000 µg/hari. Disfoni hampir tak pernah terjadi, kandiasis <5% dan menurun dengan penggunaan alat khusus (spacer device), hambatan perumbuhan tidak terbukti dan sulit dipisahkan antara efek obat dari penytakitnya.
Kortikosteroid juga digunakan pada COPD (chronic obstructive pulmonary disesase) terutama bila diduga masih reversibel. Hasil terapi tidak sebaik pada kasus asma.
Penyakit alergi. Gejala penyakit alergi yang hanya berlangsung dalam waktu tertentu, dapat diatasi dengan glukokortikoid sebagai obat tambahan disamping obat primernya; misalnya pada hay-fever, penyakit serum, urtikaria, dermatitis kontak, reaksi obat, edeme angioneurotik. Pada reaksi yang gawat , misalnya anafilaksis dan edema angioneurotik glotis, diperlukan pemberian adrenalin dengan segera. Pada keadaan yang mengancam jiwa pasien, korikosteroid dapat diberikan IV, misalnya deksametason natrium fosfat(8-12 mg). Pada penyakit yang tidak begitu berat, seperti penyakit serum, hay-fever, antihistamin masih merupakan pilihan obat utama.
Penyakit mata. Kortikosteroid dapat mengatasi gejala inflamasi mata bagian luar maupun segmen anterior. Obat dapat diberikan pada kantung konjungtiva yang akan mencapai kadar terapi dalam cairan mata, sedangkan pada gangguan bagian mata posterior lebih baik diberikan sistemik. Umumnya dipakai larutan deksametason fosfat 0,1% pagi dan siang; dan salep mata deksametason fosfat 0,05% pada malam hari. Inflamasi segmen posterior diatasi dengan 30 mg prednison oral per hari dalam dosis yang terbagi.
Korikosteroid dapat meningkatkan tekanan intraokular, maka bila obat digunakan lebih dari 2 minggu dinjurkan untuk memeriksa tekanan intraokular secara teratur.
Pada konjungtivitas karena bakteri, virus, atau fungus, obat ini dapat menimbulkan masiking effect sehingga infeksi dapat terus menjalar kedalam dan menimbulkan kebutaan. Hal ini yang membahayakan ini harus disadari saar memberikan preparat kombinasi dengan antibiotik. Obat ini tidak boleh digunakan pada herpes simples mata( dentritis keratitis), karena dapat memperburuk keadaan dan menimbulkan kekeruhan kornea yang menetap.
Pada laserasi dan abrasio mata akibat trauma mekanik, kortikosteroid topikal dapat memperlambat penyembuhan dan menyebarkan infeksi. Kortikosteroid tidak boleh diberikan pada pasien glaukoma sudut sempit kecuali sangat diperlukan (kontraindikasi relatif).
Penyakit kulit. Bermacam-macam kelainan kulit dapat diobati dengan sediaan steroid topikal. Yang harus diperhatikan ialah kadar kandungan steroidnya. Erupsi eksematosa biasanya diatasi dengan salep hidrokortison 1%. Untuk meningkatkan absorbsi dan efektivitasnya, krim atau salep ditutup dengan plastik transparan. Namun cara ini dapat memperbesar absorpsi sistemik dan memungkinkan timbulnya efek samping. Pada penyakit akut dan berat serta pada eksaserbasi penyakit kulit kronik, kortikosteroid diberikan secara sistemik. Untuk itu digunakan prednison 40 mg per hari. Pada pemfigus, pemberian prednison dapat mencapai 120 mg, dan pada kasus ini kortikosteroid bersifat live saving. Pada pembuatan topikal harus disadari kemungkinan timbulnya efek merugikan, misalnya kulit yang menipis.
Penyakit hepar. Uji klinis menunjukkan bahwa glukokortikoid dapat memperpanjang msa hidup pasien mekrosis hepar subakut dan hepatitis kronik aktif, hepatitis alkoholik, sirosis non alkoholik pada wanita. Pada hepatitis kronik aktif, dapat diberikan prednison 60-100 mg/hari. Dosis diturunkan bertahap bila ada perbaikan penyakit. Kortikosteroid hanya diberikan pada hepatitis alkoholik yang hebat, dengan gejala ensafalopati-hepatika, digunakan prednison 40 mg sehari selama satu bulan, kemudian dihentikan selama 2 sampai 4 minggu. Pada penurunan fungsi hepar yang berat lebih baik digunakan prednisolon daripada prednison karena masih harus diubah hepar menjadi prednisolon.
Pada hepatitis autoimun 80% pasien menunjukkan remisi secara histologis bila diberi prednison 40-60 mg sehari diturunkan dengan bertahan sampai dosis pemeliharaan 7,5-10 mg sehari bila kadar serum transaminase menurun.
Keganasan. Leukimia limfositik akut dan limfoma dapat diatasi dengan glukokortikoid karena efek antilimfositiknya. Prednison biasanya digunakan bersama dengan alkilator, antimetabolit dan alkaloid vinka. Selama pengobatan selain evaluasi klinik perlu dilakukan pemeriksaan darah dan sumsum tulang.
Kira-kira 15% pasien karsinoma mamae mengalami regresi setelah pemberian prednisolon 30 mg sehari. Diduga regresi ini disebabkan oleh supresi korteks adrenal, sehingga menurunkan produksi androgen yang merupakan prekursor esterogen yang menstimulasi tumor. Pasien karsinoma prostat yang telah mengalami kastrasi dapat juga diberi sediaan ini untuk mensupresi androgen adrenal.
Gangguan hematologik lain. Anemia hemolitik auto-imun yang idiopatik maupun yang acquired memberi respons yang baik terhadap terapi steroid. Obat ini tidak akan mengurangi hemolisis pada reaksi-transfusi, meski mungkin dapat mengurangi hemolisis yang diinduksi oleh obat (drug-induced-hemolysis). Pada trombositopenic Purpura diberikan 1-1,5 mg/kgBB sehari.
Syok. Kotikosteroid sering digunakan untuk mengatasi syok. Pada syok anafilaktik mungkin manfaatnya adalah melalui efek permisive yaitu membuat adrenalin bekerja lebih baik mengatasi syok tersebut, adrenalin tetap merupakan obat utama yang harus diberikan. Untuk syok septik, sampai sekarang masih banyak pertentangan pendapat; ada yang memberikan kortikosteroid dosis besar, yakni hidrokortison 300 mg yang diberikan secepat mungkin; adapula yang menggunakan deksametason 3-5 mg/kgBB, dalam bentuk bolus IV, dan bila pelu dapat diulang sesudah 4 jam. Untuk syok kardiogenik, dapat diberikan deksametason 20-50 mg secara IV dan dapat diulang sesudah 1-2 jam.
Edema serebal. Glukokortikoid sangat efektif untuk mencegah atau mengobati edema serebral karena parasit atau tumor otak. Terutama pada kasus metastasis. Edema akibat abses memberikan respon yang baik terhadap steroid. Uji klinik tidak membuktikan manfaat pada edema akibat trauma atau perdarahan otak meskipun obat ini banyak digunakan.
Trauma sumsum tulang belakang (spinal cord injury). Uji klinik multisentra membuktikan manfaat metilprednison dosis besar (30 mg/kgBB dilanjutkan infus 5,4 mg/kgBB per jam selama 23 jam) sebelum 8 jam setelah trauma akan mengurangi gejala neurologis.
2.8 KONTRA INDIKASI
Sebenarnya sampai sekarang tidak ada kontra indikasi absolut kortikosteroid. Pemberian dosis tunggal besar bila diperlukan selalu dapat dibenarkan, keadaan yang mungkin dapat merupakan kontra indikasi relatif dapat dilupakan, terutama pada keadaan yang mengancam jiwa pasien. Bila obat akan diberikan untuk beberapa hari atau beberapa minggu, kontra indikasi relatif yaitu diabetes mellitus, tukak peptic/duodenum, infeksi berat, hipertensi atau gangguan sistem kardiovaskular lain patut diperhatikan. Dalam hal yang terakhir ini dibutuhkan pertimbangan matang antara resiko dan keuntungan sebelum obat diberikan.
2.9 EFEK SAMPING
Ada dua penyebab timbulnya efek samping pada penggunaan kortikosteroid. Efek samping dapat timbul karena penghentian pemberian secara tiba-tiba atau pemberian terus-menerus terutama dengan dosis besar.
Pemberian kortikosteroid jangka lama yang dihentikan tiba-tiba dapat menimbulkan insufisiensi adrenal akut dengan gejala demam, mialgia, artralgia dan malaise. Insufisiensi terjadi akibat kurang berfungsinya kelenjar adrenal yang telah lama tidak memproduksi kortikosteroid endogen karena rendahnya mekanisme umpan balik oleh kortikosteroid eksogen. Gejala-gejala ini sukar dibedakan dengan gejala reaktivasi arthritis rheumatoid atau demam reumatik yang sering terjadi bila kortikosteroid dihentikan.
Komplikasi yang timbul akibat pengobatan lama ialah gangguan cairan dan elektrolit, hiperglikemia dan glikosuria, mudah mendapat infeksi terutama tuberculosis, pasien tukak peptic mungkin dapat mengalami perdarahan atau perforasi, osteoporosis, miopati yang karakteristik, psikosis, habitus pasien Cushing (antara lain moon face, buffalo hump, timbunan lemak supraklavikular, obesitas sentral, ekstremitas kurus, striae, ekimosis, akne dan hirsutisme)
Alkalosis hipokalemik jarang terjadi pada pasien dengan pengobatan derivate kortikosteroid sintetik dan hampir tidak pernah dijumpai pada pasien dengan terapi 16-α-substitusi seperti triamsinolon dan deksametason. Keadaan ini mudah diatasi denga pemberian KCL tanpa menghentikan pengobatan. Penggunaan triamsinolon dan deksametason lebih cocok bagi pasien yang cenderung menderita edema, pengobatan dapat diteruskan dengan desertai dengan diet rendah garam dan pemberian diuretic
Glikosuria dapat diatasi dengan diet dan pemberian insulin atau hipoglikemik oral
Kepekaan terhadap injeksi pada pasien yang mendapat kortikosteroid tidak bersifat spesifik untuk bakteri atau fungus pathogen tertentu. Bila terjadi infeksi, dosis kortikisteroid harus tetap dipertahankan atau ditambah, dan harus dilakukan pengobatan antibiotic/fungal yang terbaik terhadap infeksi tersebut secara bersamaan
Tukak peptic ialah komplikasi yang kadang-kadang terjadi pada pengobatan dengan kortikosteroid. Sebab itu bila ada kecurigaan dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan rodiologi terhadap saluran cerna bagian atas sebelum obat diberikan. Pemberian dosisi besar sebaiknya dilakukan pada waktu lambung berisi, dan di antara waktu makan diberikan antacid bila perlu. Perforasi yang terjadi sewaktu terapi kortikosteroid dosis besar sangat berbahaya karena dpat berlangsung dengan gejala klinis minimal
Miopati biasanya terjadi pada otot proksimal lengan dan tungkai, bahu dan pelvis, pada pengobatan denga dosis besar. Hal ini dapat terjadi segera setelah pengobatan dimulai. Miopati merupakan komplikasi yang berat, obat harus segera dihentikan. Gejala ini hilangnya lambat dan otot mungkin tidak dapat kembali normal dengan sempurna.
Psikosis merupakan komplikasi berbahaya dan sering terjadi. Meskipun demikian pada penyakit yang sangat berbahaya obat ini dapat diteruskan, sedangkan pada keadaan yang ringan dosis obat harus segera dikurangi. Gangguan psikiatrik ini dapat timbul dalam berbagai bentuk, antara lain nervositas, insomnia, perubahan mood dan jiwa serta timbulnya tipe psikopati manic-depresif atau skizofrenik. Kecendrungan bunuh diri sering timbul. Beberapa penyidik menyatakan bahwa timbulnya gejala-gejala ini disebabkan adanya gangguan keseimbangan elektrolit dalam otak, sehingga mempengaruhi kepekaan otak. Juga dikatakan tidak terdapat hubungan dosis yang diberikan dengan gejala yang timbul. Gejala-gejala ini lebih sering timbul pada pasien yang sebelumnya pernah menderita psikosis atau bentuk nervositas lain dan kelainan kepribadian. Gangguan jiwa akibat pengunaan hormone ini dapat hilang segera atau dalam beberapa bulan setelah obat dihentikan. Selain gangguan jiwa juga mungkin terjadi serangan konvulsi, terutama pada anak-anak.
Osteoporosis dan fraktur vertebra karena kompresi juga merupakan komplikasi hebat yang sering terjadi pada semua umur. Vertebra pasien dengan terapi glukokortikoid untuk beberapa bulan, harus diperiksa secara radiologic. Bila terdapat gejala osteoporosis pengobatan harus dihentikan. Hal ini perlu diperhatikan pada wanita yang mati haid yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid
Hiperkoagulabilitas darah dengan kejadian tromboemboli telah ditemukan terutama pada pasien yang mempunyai penyakit yang memudahkan terjadinya trombisis intravascular. Pengobatan kortikosteroid dosis besar pada pasien ini, harus disertai pemberian antikoagulan sebagai terapi profilaksis.
2. 10. SEDIAAN DAN PASOLOGI
Sediaan kortikosteroid dapat diberikan secara oral, parental (IV, IM, intrasinovial dan intralesi) dan topical pada kulit atau mata (dalam bentuk salep, krim, losio) atau aerosol melalui jalan nafas. Pada semua cara pemberian topical kortikosteroid dapt diabsorbsi dalam jumlah cukup untuk menimbulkan efek sistemik dan menyebabkan penekanan andrnokortikosteroid.
Pada tabel 32-3 dicantumkan berbagai sediaan kortikosteroid dan cara pemberiannya
PENGHAMBATAN KORTIKOSTEROID
Telah ditemukan beberapa zat yang dapat menghambat sekresi kortikosteroid, antara lain yang akan dibahas adalah metirapon dan amino-glutemid. Ketokonazol, suatu antifungal, menhambat steroidogenesis karena menghambat enzim CYP17 (17 alfa hidroksilase), hal inii dapat menghambat interaksi obat. Ketokonazol belum diketahui manfaat kliniknya untuk menghambat produksi steroid. Mifepriston menghambt mekanisme umpan balik sehingga meningkatkan ACTH dan kortisol. Karena kemampuaannya menghambat kortikosteroid obat ini sedang diteliti kemungkinan kegunaannya untuk kasus hiperkortisisme. Saat ini digunakan hanya bila obat lain tidak berhasil.
METIRAPON. Obat ini menghambat kerja enzim 11-β-hidroksilase (lihat gambar 32-2), sehingga reaksi berhenti pada pembentukan 11-desoksi-kortsol, yang tidak mempunyai efek penghambatan terhadap sekresi ACTH. Akibatnya, metrapon pada orang normal dapat menimbulkan peningkatan sekresi ACTH dan ekskresi 11-desoksikortisol, suatu 17-hidroksikortikoid.
Metapiron digunakan untuk menguji kemampuan hipofisis untuk mengadakan kompensasi terhadap penurunan kortisol. Pada pasien dengan gangguan simtem hipotalamus-hipofisis yang tidak dapat mengadakan reaksi kompensasi tersebut, pemberian metapiron tidak menimbulkan penigkatan ekskresi 17-hidroksikortikoid. Sebelum penggunaan metapiron, lebih dahulu harus diketahui bahwa fungsi adrenal terhadap rangsangan ACTH normal, karena metapiron hanya berguna bila adrenal masih berfungsi terhadap rangsangan ACTH. Pada pasien dengan fungsi sekretoris adrenal yang menurun, obat ini dapat menyebabkan insufisiensi adrenal yang akut.
Metapiron dapat mengatasi keadaan hiperkortisolisme akibat neoplasma adrenal yang berfungsi secara otonomik atau akibat produksi ACTH ektopik oleh adanya tumor. Namun pada hiperkortisol akibat hiper sekresi ACTH pada sindroma Cushing, metapiron tidak dapat digunakan. Disini penurunan kadar kortisol dalam darah akibat metapiron merangsang pengluaran ACTH, selanjutnya merangsang sekresi kortisol yang berada dalam penghambatan parsial, sehingga kadarnya dalam plasma kembali pada keadaan sebelum pemberian metapiron. Penggunaan jangka lama dapat menyebabkan hipertensi kerena sekresi desoksikortikosteroidyang berlebihan. Metapiron tersedia dalam bentuk tablet orang 250 mg. pengobatan dengan amino glutetimid tidak bersifat kuratif, relaps terjadi setelah terapi dihentikan.
0 komentar:
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g:
:h: :i: :j: :k: :l: :m: :n: :o: :p:
Posting Komentar
Teman-teman yang baik hati,,
Terimakasih sudah meluangkan waktu untuk mampir diblog sederhana ini.
Blog ini saya buat untuk memudahkan sobat sekalian dalam mencari tugas.
Data yang dikumpulkan dari tugas-tugas kampus yang saya miliki juga meminta ijin men"COPAS" tulisan milik oranglain tentu dengan menyertakan sumbernya.
Saya harap kalian dapat meninggalkan pesan, komentar, kritik, saran atau beberapa patah kata guna menghargai blog ini.
Jangan lupa di follow yahh... ^^
Terimakasih ^^