Senin, 21 Januari 2013

Hubungan Struktur, Aspek Stereokimia Dan Aktivitas Biologis Obat

Makalah Kimia Medisinal
BAB I
PENDAHULUAN

Stereokimia merupakan salah satu faktor penting dalam aktivitas biologis obat oleh karena itu pengetahuan tentang hubungan aspek stereokimia dengan aktivitas farmakologis obat sangat menarik untuk dipelajari.
Untuk berinteraksi dengan reseptor, molekul obat harus mencapai sisi reseptor dan sesuai dengan permukaan reseptor. Faktor sterik yang ditentukan oleh stereokimia molekul obat dan permukaan sisi reseptor, memegang peran penting dalam menentukan efisiensi interaksi obat reseptor. Oleh karena itu agar berinteraksi dengan reseptor dan menimbulkan respons biologis, molekul obat harus mempunyai struktur dengan derajat kespesifikan tinggi.
Pada interaksi obat reseptor ada dua nilai yang sangat penting yaitu distribusi muatan elektronik dalam obat dan reseptor, serta bentuk konformasi obat dan reseptor. Oleh karena itu aktivitas obat tergantung pada tiga faktor struktur yang penting, yaitu:
a.       Stereokimia molekul obat
b.      Jarak antar atom atau gugus
c.       Distribusi elektronik dan konfigurasi molekul
Perbedaan aktivitas farmakologis dari beberapa stereoisomer disebabkan oleh tiga faktor, yaitu:
a.       Perbedaan dalam distribusi isomer dalam tubuh
b.      Perbedaan dalam sifat-sifat interaksi obat-reseptor
c.       Perbedaan dalam adsorpsi isomer-isomer pada permukaan reseptor yang sesuai
Dua hal penting yang perlu diketahui adalah modifikasi isosterisme dan pengaruh isomer terhadap aktivitas biologis obat.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    MODIFIKASI ISOSTERISME
Untuk memperoleh obat dengan aktivitas yang lebih tinggi, dengan efek samping atau oksisitas yang lebih rendah dan bekerja lebih selektif, perlu dilakukan modifikasi struktur molekul obat.
Istilah isosterisme telah digunakan secara luas untuk menggambarkan seleksi dari bagian sruktur yang karena karakterisasi sterik, elektronik dan sifat kelarutannya, elektronik dan sifat kelarutannya, memungkinkan untuk saling dipergantikan pada modifikasi struktur molekul obat.
Langmuir (1919) mencoba mencari hubungan yang dapat menjelaskan adanya persamaan. Sifat fisik dari olekul yang bukan isomer, dan memberikan batasan bahwa isosteris adalah senyawa-senyawa, kelompok atom-atom, radikal atau molekul yang mempunyai jumlah dan pengaturan elektron yang sama, bersifat isoelektrik dan mempunyai kemiripan sifat-sifat fisik.
Contoh: molekul N2 dan CO masing-masing mempunyai total elektron = 14, sama-sama tidak bermuatan ditunjukkan sifat fisik yang relatif sama, seperti kekentalan, kerapatan, indeks refraksi, tetapan dielektrik dan kelarutan. Hal ini berlaku pula untuk molekul-molekul N2O dan CO2, N3 dan NCO- serta CH2N2 dan CH2 = Co.
Grimm (1925), memperkenalkan hukum pergantian hibrida yang menyatakan bahwa penambahan atom H, suatu elektron sunyi, pada atom atau molekul yang kekurangan elektron pada orbital terluarnya (pseudo atom), dapat menghasilkan pasangan isosterik.
Contoh konsep Grimm tentang pergantian hibrida dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Copy (2) of Picture.jpg
Contoh : gugus –CH = dan atom –N =, masing-masing mempunyai total elektron  = 7 dan bersifat sebagai pseudo atom. Penambahan atom H akan menghasilkan pasangan isosterik –CH2- dan -NH- .
Erlenmeyer (1948), memperluas definisi isosteris yaitu atom, ion atau molekul yang jumlah, bentuk, ukuran, dan polaritas elektron pada lapiran terluar sama,dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Copy (3) of Picture.jpg
Arti isosteris secara umum adalah kelompok atom-atom dalam molekul, yang mempunyai sifat kimia atau fisika mirip, karena mempunyai persamaan ukuran, keelektronegatifan atau stereokimia.
Contoh pasangan isosterik yang mempunyai sifat sterik dan konfigurasi elektronik sama adalah :
a.       Ion karboksilat (-COO-) dan ion sulfonamida (-SO2NR-)
b.      Gugus keton (-CO-) dan gugus sulfon (-SO2-)
c.       Gugus klorida (-Cl) dan gugus trifluorometil (-CF3)
Gugus-gugus divalen eter (-O-), sulfida (-S-), amin (-NH-) dan metilen (-CH2-) meskipun berbeda sifat elektroniknya tetapi hampir sama sifat steriknya sehingga sering pula dipergantikan pada suatu modifikasi struktur.
Secara umum prinsip isosterisme ini digunakan untuk:
a.       Mengubah struktur senyawa sehingga didapatkan senyawa dengan aktivitas biologis yang dikehendaki.
b.      Mengembangkan analog dengan efek biologis yang lebih selektif
c.       Mengubah struktur senyawa sehingga bersifat antagonis terhadap normal metabolit (antimetabolit)
Friedman (1951)  memperkenalkan istilah bioisosterisme, yang kemudian berkembang menjadi salah sau konsep dasar sebagai hipotesis untuk perkembangan kimia medisinal. Idealnya, bioisosterisme melibatkan pergantian gugus fungsi dalam struktur molekul yang spesifik aktif dengan gugus lain dan pergantian tersebut akan menghasilkan senyawa baru dengan aktvitas biologis yang lebih baik.
 Burger (1970) menghasilkan bioisosterisme sebagai berikut:
1.      Bioisosterisme klasik
a.       Atom atau gugus monovalen, contoh : R-X-Hn, di mana X adalah atom C, N, O atau atom S, dan R-X, dimana X adalah atom F,Cl, Br, dan I
b.      Atom atau gugus divalen, contoh : R-X-R', dimana X adalah O, S, CH2 atau NH
c.       Atom atau gugus trivalen, contoh : R-N=R', R-CH=R', R-P=R', R-As=R', dan R-Sb=R'
Copy (2) of Picture 001.jpg
d.      Atom atau gugus tetravalen, contoh : R=N+=R', R=C=R', R=P+=R', R=As+=R' dan R=Sb+=R'
e.       Kesamaan cincin, contohnya: pergantian gugus dalam satu cincin, seperti gugus -S-, -O-, -NH-, -CH2­-, -CH=CH-
2.      Bioisosterisme nonklasik
a.       Susbtitsi gugus akan memberikan pengaturan elektronik dan sterik yang serupa dengan senyawa induk
Contoh: penggantian H dengan F
Contoh gugus bioisosterik nonklasik dapat dilihat pada tabel
Copy (3) of Picture 001.jpg

b.      Penggantian gugus dengan gugus lain yang tidk mempunyai persamaan sifat elektronik aau sterik tetapi masih menimbulkan aktivitas biologis yang sama.
Contoh : penggantian gugus alkilsulfonamido (-SO2NH-R) dengan gugus hidroksi (-OH) pada turunan katekolamin
c.       Penggantian cincin dengan struktur nonsiklik
Contoh : penggantian cincin benzen dengan heksatriena (H2C=CH-CH=CH-CH=CH2)
Hansch mengklasifikasikan bioisosterisme berdasarkan persamaan kualitatif (aktivitas biologis) dan kuantitatif melalui parameter sifat kimia fisika seperti π,σ dan Es sebagai berikut :
1.      Isometrik bioisosterisme (bioisosterisme sebenarnya), dimana gugus-gugus yang saling dipergantikan mempunyai persamaan kualitatif dn kuantitatif, yaitu mempunyai nilai tetapan kimia fisika hampir sama dan dapat menghasilkan respons biologis yang serupa pula.
Contoh : penggantian gugus 4-Cl dengan gugus 3-OC2H5 dari turunan sulfonamida, yang diuji aktivitas penghambatan terhadap pertumbuhan Escherichia coli, hasilnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Copy (4) of Picture 001.jpg

Dari tabel dapat terlihat gugus 4-Cl dan 3-OC2H5 mempunyai nilai π dan σ hampir sama dan menghasilkan efek biologis yang hampir sama pula, sehingga keduanya dikategorikan sebagai isometrik bioisosterik.
2.      Nonisometrik bioisosterik (bioisosterik parsial), dimana gugus-gugus yang saling dipergantikan mempunyai persmaan kualitatif tetapi tidak sama sifat kuantitatifnya.
Contoh : penggantian gugus 4-F dengan 4-NO2 dari turunan arilamida, dan diuji aktivitasnya pembentukan kompoleks terhadap alkohol dehidrogenase, hasilnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Pada tabel terlihat bahwa gugus 4-F dengan 4-NO2 mempunyai nilai parameter kimia fisika sangat berbeda tetapi dapat menghasilkan respons biologis yang relatif sama, sehingga kedua gugus tersebut dikategorikan sebagai nonisometrik bioisosterik.

Meskipun tidak memungkinkan mencapai isosterisme murni, prinsip isosterisme dan bioisosterisme masih banyak digunakan untuk memodifikasi senyawa biologis aktif. Subtitusinya tidak hanya menghasilkan produk yang mempunyai efek identik tetapi juga produk yang bersifat antagonis.
Contoh :
1.      Aminopirin, senyawa isosteriknya mempunyai aktivitas analgesik-antipiretik yang sama
2.      Asetilkolin dan karbakol mempunyai aksi muskarinik yang serupa
3.      2-Tenilalanin yang merupakan senyawa antagonis biologis dari fenilalanin
Copy (2) of Picture 002.jpg
Penggantian gugus atau atom tertentu dari normal metabilot dengan gugus deseptor, pada umumnya, walaupun tidak selalu akan menghasilkan senyawa antagonis kompetitif. Gugus deseptor dapa dilihat pada tabel dibawah ini.
Copy (3) of Picture 002.jpg
Pada modifikasi isosterisme tidak ada hukum yang secara umum dapat memperkirakan apakah akan terjadi peningkatan atau penurunan aktivitas biologis. Meskipun demikian isosterisme masih layak dipertimbangkan sebagai dasar rancangan obat dan modifikasi molekul dalam rangka menentukan obat baru.
Contoh modifikasi isosterisme:
1.      Penggantian gugus sulfida (-S-) pada sistem cincin fenotiazin dan cincin tioxanten, dengan gugus etilen (-CH2CH2-), menghasilkan sistem cincin dihidrodibenzazepin, dan dibenzosiklo-heptadien yang berkhasiat berlawanan.
Contoh : gugus S pada promazin dan klorprotixen, suatu obat penekan sistem saraf pusat

(tranquilizer), bila diganti dengan gugus etilen, menghasilkan imipramin dan amitriptilin yang berkhasiat sebagai perangsangan sistem saraf pusat (antidepresi).
Copy (4) of Picture 002.jpg






Meskipun tidak dimungkinkan mencapai isosterisme murni, prinsip isosterisme dan bioisosterisme masih banyak digunakan untuk modifikasi senyawa biologis aktif. Subtitusi tidak hanya menghasilkan produk yang  mempunyai efek identik tetapi juga produk yang bersifat antagonis.
Contoh :
1). Aminopirin, senyawa isosteriknya mempunyai aktivitas analgesik-antipiretik yang sama.
2). Asetilkolin dan karbakol mempunyai aksi muskarinik yang serupa.
3). 2-Tenilalanin merupakan senyawa antagonis biologis dari fenilalanin.
Penggantian gugus atau atom tertentu dari normal metabolit dengan gugus deseptor, pada umumnya, walaupun tidak selalu, akan menghasilkan senyawa antagonis kompetitif.
Contoh gugus dapat dilihat pada Tabel 17.
Pada modifikasi isosterisme tidak ada hukum yang secara umum dapat memperkirakan apakah akan terjadi peningkatan atau penurunan aktivitas biologis. Meskipun demikian isosterisme masih layak dipertimbangkan sebagai dasar rancangan obat dan modifikasi molekul dalam rangka menemukan obat baru.
Contoh modifikasi isosterisme :
1). Pergantian gugus sulfida (-S-) pada sistem cincin fenotiazin dan cincin tioxanten, dengan gugus etilen (-CH2CH2-), menghasilkan sistem cincin dihidrodibenzazepin dan dibenzosiklo-heptadien yang berkhasiat.
Tabel 17. Gugus-gugus deseptor dan metabolit kompetitif
Atom atau gugus
normal
Atom atau gugus
deseptor
Metabolit kompetitif
-H
-OH
-NH2

-CH3

-S-


-COOH

-COR

-CO-
-F, -Br
-NH2
-OH
-NHNH2
-Cl
-C2H5
-O-
-NH-
-CH2-CH2-
-SO2NH2
-SO3H
-CONR2
-PO(OR)2
-CH2-
5-Fluoro/Bromourasil
Aminopterin
Oksitiamin
β-Feniletilhidrazin
2-Kloronaftoquinon
Etionin
Dalam metionin
Analog tiamin
Dalam biotin
Sulfanilamid
Dalam asam nikotinat
Karbamilkolin
Antagonis asetilkolinesterase
Deoksipiridoksal

Contoh gugus S pada promazin dan klorprotixen, suatu obat penekan sistem saraf pusat (tranquilizer), bila diganti dengan gugus etilen, menghasilkan imiptriptilin yang berkhasiat sebagai perangsang sistem saraf pusat (antidepresi).
2). Turunan dialkiletilamin
            R – X – CH2 – CH2 - N – (R’)2
X = O, NH, CH2, S     : senyawa antihistamin
X = COO, CONH, COS        : senyawa pemblok adrenergik
3). Turunan Ester etiltrimetilamonium
            R-COO-CH2-CH2-N+(CH3)3

CH3          Asetilkolin              :           masa kerja muskarinik singkat
NH2          Karbamikolin          :           masa kerja muskarinik panjang
Penggantian gugus CH3 dengan gugus NH2 yang bersifat penarik elektron  dapat meningkatkan kestabilan ester  terhadap proses metabolime sehingga karbamilkolin, mempunyai masa kerja muskarinik lebih panjang disbanding asetilkolin.
4) Obat antidiabetes turunan sulfonamida
 Tolbutamid dan klorpropamid mempunyai waktu paro biologis (t1/2) lebih panjang dan toksisitas yang lebih rendah dibanding karbutamid karena gugus tolbutamid merupakan gugus yang relatif labil dibanding gugus Cl, dan pada in vivo mudah teroksidasi menjadi asam karboksilat (t1/2 = 5,7 jam). Gugus Cl pada klorpropamid lebih tahan terhadap proses oksidasi sehingga masa kerja obat lebih panjang (t1/2 lebih besar dari 33 jam).
5. Prokain dan prokainamid
Gugus dipol C=O mempunyai peran spesifik dalam konduksi saraf. Resonansi dari gugus amida prokainamid akan kekuatan dipol gugus C=O, sehingga prokainamid mempunyai aktivasi anestesi setempat lebih rendah dibanding prokain. Struktur prokainamid lebih lebih stabil dibanding prokain karena lebih tahan terhadap hidrolisis oleh enzim esterase sehingga secara oral dapat digunakan untuk pengobatan aritmia jantung karena mempunyai masa kerja yang lebih panjang.
6. Antimetabolit purin
Adenin dan hipoxantin merupakan metabolit normal dalam tubuh. Gugus NH2 dan OH pada C6 memegang peranan penting pada interaksi yang melibatkan ikatan hydrogen dari kedua basa, pada proses replikasi asam nukleat dalam biosintesis protein sel. Penggantian gugus-gugus tersebut dengan gugus SH, contoh : 6-merkaptopurin, akan memperlemah ikatan hidrogen, terjadi hambatan sebagian dari proses interaksi di atas sehingga kecepatan sintesissel menurun dan senyawa berfungsi sebagai antimetabolit (antikanker).
Selain gugus isosterik dan bioisosterik dikenal pula gugus haptoforik dan gugus farmakoforik. Gugus haptoforik adalah gugus yang membantu pengikatan obat-reseptor, sedang farmakoforik adalah gugus yang bertanggung-jawab terhadap respons biologis..
Contoh gugus haptoforik adalah gugus-gugus besar sepertidifenilmetil yang terdapat pada difenhidramin (antihistamin), metadon (analgesik narkotika) dan DDT (insektisida), atau gugus fenotiazin, seperti yang terdapat pada prometazin (antihistamin) dan klorpromazin (tranquilizer).
Contoh gugus farmakoforik adalah gugus sulfonilurea (antidiabetes), sulfonamida (antibakteri), dan gugus sulfon (penghambat karbonik anhidrase)
Gugus haptoforik dan farmakoforik dapat berinteraksi melalui mekanisme yang berbeda dengan tipe reseptor, hal ini terjadi pada turunan sufonik seperti yang terlihat pada Tabel 18.

Struktur
Anti-
Diabetes
Bakterio-
Statik
Penghambat
Karbonik anhidrase
Saluretik
Turunan sulfonilurea



R = CH3; R’ = n – C4H9 : Tolbutamid
R = NH2; R’ = n – C4H9 : Karbutamid



+++
+++



-
++



-
-



-
-
Turunan sulfonamid
 


R = Sufadiazin
R = Sulfanilamid




-
-



+++
++



-
++



-
-
Turunan sulfon
Karzenid
Klorotiazid

-
-

-
-

+++
++

-
+++

B. ISOMER DAN AKTIVITAS BIOLOGIS OBAT
Sebagian besar obat yang termasuk golongan farmakologis sama, pada umumnya mempunyai gambaran struktur tertentu. Gambaran struktur ini disebabkan oleh orientasi gugus-gugus fungsional dalam ruang dan pola yang sama. Dari gambaran sterik dikenal beberapa macam struktur isometri, antara lain adalah isomer geometrik, isomer konformasi, diastereoisometri dan isomer optik. Bentuk-bentuk isomer tersebut dapat mempengaruhi aktivitas biologis obat.
1). Isomer Geometrik dan Aktivitas Biologis
1. Isomer geometrik dan aktivitas biologis
            Isomer geometri atau isomer cis trans adalah isomer yang disebabkan adanya atom-atom atau gugus-gugus yang terikaat secara langsung pada suatu ikatan rangkap atau dalam suatu sistem alisiklik. Ikatan rangkap dan sistem alisiklik membatasi gerakan atom dalam mencapai kedudukan yang stabil sehingga terbantuk isomer cis-trans dan isomer cistrans cenderung menahan gugus-gugus daklam molekul pada ruang yang relatif berbeda dan perbedaan letak gugus-gugus tersebut dapat menimbulkan perbedaan kimia fisika. Akibatnya, distribusi isomer dalam media biologis juga berbeda, dan berbeda pula kemampuan isomer untuk interaksi dengan reseptor biologis.
2. Isomer konfirmasi dan aktivitas biologis
            Isomer konfirmasi adalah isomer yang terjadi karena ada perbedaan pengaturan ruang dari atom-atom atau gugus-gugus dalam struktur molekul obat. Isomer konfirmasi lebih stabil pada struktur senyawa non aromatik. Contoh sikloheksan dapat membentuk 3 konfomer yaitu bentuk kursi, perahu, dan melipat. Sikloheksan cenderung dalam bentuk konfirmasi kursi dibanding bentuk konfirmasi perahu atau melipat. Substituen atau gugus pada cincin sikloheksan cenderung ditahan pada kedudukan equatorial oleh karena bentuk aksial lebih muda terpengaruh oleh efek sterik. 
Pada bentuk 1,3 diaksial, subtituennya cenderung tolak-menolak satu sama lain sehingga mengubah kelenturan cincin dan menmpatkan substituen pada kedudukan ekuatorial yang kurang terpengaruh oleh efek sterik. Pada cincin non aromatik, atom atau gugus yang terikat dapat pada kedudukan ekuatorial atau aksial atau kedua-duanya dan dapat menunjukkan aktivitas biologis yang sama atau berbeda. Contoh ,
Trimeperidin adalah senyawa narkotik analgesik poten pada struktur molekulnya bentuk konfirmasi ekuatorial atau aksial ditunjang dan berorientasi pada gugus fenil dan gugus alisiklik. Gugus fenil cendrung dipertahankan dalam bidang cincin pada kedudukan ekuatorial. Untuk mengubah kedudukan aksial dibutuhkan energi lebih kurang7 kilo kalori/mol. Isomer aksial dan ekuatorial dari trimeperidin mempunyai analgesik sama. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh bentuk isomer konfirmasi terhadap aktivitas analgesik trimeperidin sangat kecil.
Planaritas pada bagian tertentu molekul obat sangat penting untuk dapat menimbulkan aktivitas biologis pada umumnya. Pada umumnya akan menunjang rigiditas molekul obat dan ini terjadi pada cincin aromatik atau suatu sistem kerkonjugasi yang lain . atom atau gugus yang terikat secara langsung pada cincin atau sistem tersebut akan berada pada ruang yang sama.
Kadang-kadang aktivitas biologis senyaswa tidak berhubungan dengan gugus fungsi tetapi hanya bergantung pada aromatik atau karakteristik planar dari molekul.
Contoh :
1. Amfetamin yang mempunyai cincin aromatik lebih aktif dibanding analog jenuhnya. Aktivitasnya ditunjang oleh planaritas cincin yang menigkatkan kemampuan senayawa untuk mengikat reseptor yang juga mempunyai permukaan planar melalui ikatan vander waals yang relatif kuat. Pada interaksi obat yang tidak planar dengan reseptor planarikatan van der waals relatif rendah.
2. Aktivitas pemblok adrenergik dari b- haloalkilamin tergantung pada koplanaritas substituen pada cincin benzen.
Kadang-kadang suatu molekul senyawa tertentu memberikan lebih dari satu efek biologis karena mempunyai bentuk konfirmaasi yang unik dan lentur sehingga dapat berinteraksi dengan reseptor-reseptor yang berbeda.
Contoh
1. Asetil kolin
Asetilkolin memiliki dua bentuk konfirmasi yaitu
a. bentuk konfirmasi tertutup
Pada bentuk ini atom H dari N-metil letaknya berdekatan demgam atom O dari gugus asetoksi sehingga terjadi ikatan hidrogen intermolekul membentuk struktur tertutup. Bentuk konfirmasi ini dapoat berinteraksi dengan reseptor nikotinik dari ganglia dan penghubung saraf otot.
b. bentuk konfirmasi memanjang penuh
pada bentuk ini atom H dari N-metil letaaknya berjauhan dengan atom O sehingga membentuk struktur memanjang. Bentuk konfirmasi ini dapat berinteraksi dengan reseptor muskarinik dari saraf post ganglionik parasimpatik dan mudah dihidrolisis oleh enzim asetilkolinesterase,
2. 2-Asetoksisiklopropiltrimetilamonium iodida
Pada bentuk (+) trans, atom H dari N-metil letaknya berjauhan dan terpisah dari atom O gugus asektosi sehingga mempunyai bentuk konfirmasi memanjang seperti asetilkolin. Senyawa ini memiliki derajat kekakuan yang lebih besar dari asetilkolin dan mempunyai aktivitas muskarinik pada pembuluh darah anjing 5 kali lebih besar dari asetilkolin.
            Bentuk isomer (+) trans juga mudah dihidrolisis oleh enzim esterase dengan kecepatan yang sama seperti hidrolisis asetilkolin. Bentuk isomer (-) trans, (+)cis, dan (-) cis, aktivitas muskariniknya sangat rendah.
3. histamin
Histamin mempunyai tiga bentuk isomer konformasi, yaitu 2 bentuk konformasi memanjang dan bentuk konformasi tertutup.
Pada struktur triprolidin, senyawa antagonis H1, jarak antara kedua atom N=4,88 ± 0,2 angstrom dan diduga berfungsi sebagai antagonis spesifik terhadap histamin bentuk konfirmasi A. senyawa antagonis H2, seperti simetidin diduga merupakan antagonis dari histamin bentuk konfirmasi B.
3. Diastereoisomer dan Aktivitas Biologis
Diastereoisomer adalah isomer yang disebabkan oleh senyawa yang mempunyai dua atau lebih pusat atom asimetrik, mempunyai gugus fungsional sama dan memberikan tipe reaksi yang sama pula. Kedudukan gugus-gugus substitusi terletak pada ruang yang relatif berbeda sehingga diastereoisomer mempunyai sifat fisik, kecepatan reaksi dan sifat biologis yang berbeda pula.  Perbedaan sifat-sifat di atas berpengaruh terhadap distribusi, metabolisme dan interaksi isomer dengan reseptor.


 
Perbedaan interaksi dengan reseptor dari senyawa-senyawa diastereoisomer dapat dilihat pada gambar berikut.
 











Keterangan :
Nilai koefisien partisi lemak/air isomer cis  tidak sama dengan isomer trans atau log P (cis) = log P (trans).
A,B, dan C                : gugus-gugus pada Isomer
A’,B’,dan C’             : tempat yang sesuai pada reseptor

Gambar. Interaksi diasterioisomer dengan reseptor biologis


Diasterioisomer  kemungkinan juga mempunyai aktifitas optic.
Contoh : efedrin, mempunyai 2 atom C asimetrik dengan 4 bentuk aktif optis, dapat membentuk diasterioisomer (+-) eritro dan (+-) itreo, yang dapat dilihat pada gambar:
 



                                                                             








Tabel.  Hubungan isomer-isomer efedrin dan aktivitas presor relative (APR)
Isomer
APR
D (-) Eferdrin
L (+) Efedrin
D(-) Pseudoefedrin
L(+) Pseudoefedrin
DL(+-) Efedrin
DL(+-) Pseudoefedrin
36
11
7
1
26
4

Aktifitas presor relative (APR) isomer-isomer efedrin dapat dilihat pada table.
Dari gambar dan table terlihat bahwa aktivitas maksimal dicapai bila pusat Cα berada pada kedudukan (S) dan pusat Cβ pada kedudukan (R).  Jadi hanya bentuk D (-) efedrin yang secara nyata dapt memblok reseptor β-adrenergik dan menurunkan tekanan darah.

4.   Isomer Optik dan Aktivitas Biologis
Isomer Optik  adalah isomer yang disebabkan oleh senyawa yang mempunyai atom C asimetrik. Isomer optic mempunyai  sifat kimia Fisika sama dan hanya berbeda pada kemampuan dalam memutar bidang cahaya terpolarisasi atau berbeda rotasi optiknya. Masing-masing isomer hanya dapat memutar bidang cahaya terpolarisasi ke kiri atau ke kanan saja dengan sudut pemutaran yang sama.

Isomer optic  kadang-kadang mempunyai aktivitas biologis yang berbeda karena ada perbedaan  dalam interaksi  isomer-isomer dengan reseptor biologis.

Menurut Beckett, perbedaan interaksi isomer-isomer optic dengan reseptor biologis diilustrasikan seperti pada gambar

Contoh obat yang dapat membentuk isomer optic  dengan aktivitas biologis berbeda :
1.      (-)- Hiosiamin, aktivasi medriatiknya 15-20 kali lebih besar disbanding isomer (+)
2.      D-(-)adrenalin, aktivitas vasokonsttiktornya 12-15 kali lebih basar disbanding isomer (+)
3.      (-)-Sinefrin, aktivitas presornya 60 kali lebih besar disbanding isomer (+)
4.      (-)-α-Metildopa, mempunyai efek antihipertensi, sedang isomer (+) tidak menimbulkan efek antihipertensi
5.      D-(-)-treo-Kloramfenikol mempunyai efek antibakteri, sedang isomer L (+) eritro efeknya negative
6.      (+)-Norhormoepinefrin, aktivitas presosnya 160 kali lebih besar disbanding isomer (-)


Membran biologis
 
 




















Keterangan :
Nilai koefisien partisi lemak/air dari isomer (-) atau log P (+) = log P(-)
A, B, dan C               : gugusgugus pada isomer
A’, B’, dan C’           : tempat yang sesuai pada reseptor

Gambar 34.  Interaksi isomer dengan reseptor Biologis.


7.      (+)-α-Propoksifen mempunyai efek analgesikm d\sedang isomer (-) mempunyai efek antibatuk
8.      L-(+)-Asam askorbat mempunyai efek antiskorbut, sedang isomer (-) efeknya negarif
9.      S-(+)-Indometasin mempunyai efek antiradang, sedang isomer R(-) efeknya negative
10.  Isomer (-) dan (+)-klorokuin mempunyai efek antimalaria yang sama, hal ini berarti bahwa aspek steriokimia sedikit berpengaruh terhadap aktivitas biologis kliekuin

Perbedaan aktivitas dari isomer-isomer optic dapat dijelaskan dengan beberapa perkiriraan sebagai berikut :
1.      Ada perbedaan distribusi dari isomer-isomer dalam tubuh, tanpa memandang perbedaan kerja pada sisi reseptor. Perbedaan ini disebabkan isomer optic diseleksi terlebih dahulu oleh system biologis sebelum mencapai reseptor spesifiknya.
Contoh :
a.       Isomer optic berinteraksi dengan senyawa aktif optic dalam cairan tubuh, missal protein plasma, membentuk diasterioisomer sehungga terjadi perbedaan absorbs, distribusi dan metabolism isomer-isomer tersebut.
b.      Salah satu isomer optic cenderung dimetabolisis oleh enzim yang bersifat stereospesifik
c.       Salah satu isomer diabsorbsi secara selektif pada sisi kehilangan yang stereospesifik, missal pengikatan oleh protein plasma tertentu
2.      Menurut Cushny , perbedaan aktivitas tersebut disebabkan karena isomer optic berinteraksi denga sisi reseptor yang aktif optis, menghasilkan diasterioisomer dengan sifat kimia fisika berbeda sehingga terjadi perbedaan dalam distribusi dan interaksi dengan reseptor spesifik.
3.      Menurut Easson dan Stedman,  struktur isomer optic secara teoritis dapat menimbulkan efek fisiologis yang berbeda karena ada perbedaan dalam hal pengaturan molekul sehingga salah satu isomer dapat berinteraksi dengan reseptor hipotesis sedang isomer yang lain tidak dapat berinteraksi.
Interaksi reseptor hipotesis dengan isomer optic dapat dijelaskan pada gambar 35
Easson-Stedman juga memberikan postulat bahwa isomer optic dari epinefrin, suatu obat adenergik, dapat menimbulkan aktivitas presor yang berbeda karena mempunyai perbedaan dalam interaksi dengan permukaan reseptor.
Perbedaaan interaksi isomer-isomer epinefrin dengan permukaan reseptor dijelaskan pada gambar 36


Reseptor hipotesisi
 

Tempat hidroksil
 









Cincin aromatik
 

N Kationik
 

Cincin aromatik
 

N Kationik
 
Gambar 35.  Interaksi isomer optic dengan hipotesis menurut Easson dan Stedman

(-) Epinefrin
Interaksi serasi, lebih aktif
 

(+) Epinefrin
Interaksi kurang serasi, kurang aktif
 
 












Gambar 36  Interaksi isomer-isomer epinefrin dengan permukaan reseptor.

Dari gamabar 36 terlihat bahwa pada (-) epinefrin ketiga gugus diikat secara serasi pada permukaan reseptor sehingga menimbulkan aktivitas presor yang jauh lebih besar disbanding (+) epinefrin,karena ada isomer (+) hanya dua gugus yang terikat pada permukaan reseptor.
Hilangnya gugus hidroksil pada struktur (-) epinefrin (deoksiepinefrin) menyebabkan senyawa mempunyai aktivitas presor yang serupa dengan (+) epinefrin, karena hanya dua gugus yang mengikat permukaan reseptor.

C.     JARAK ANTAR ATOM DAN AKTIVITAS BIOLOGIS
Hubungan antar struktur kimia dengan aktivitas biologis sering ditunjan oleh konsep kelentura reseptor. Pada beberapa tipe kerja biologis, jarak antar gugus-gugus fungsional molekul dapat berpengaruh terhadap aktivitas biologis obat. Hal ini dapat diperkirakan dari “jarak identitas” atau jarak antar ikatan-ikatan peptide struktus protein yang memanjang

Contoh :
1.      Obat parasimpatomimetik, seperti turunan asetikolin (karbakol) dan parasimpatolitik, seperti obat pemblok adrenergic, jarak antara ester karbonil dengan atom N-metil adalah 7,2 Å, yang berarti 2 x 3,61 Å
2.      Obat kurare, seperti dekametonium, jarak antar atom N-kuarterner adalah 14,5 Å, yang berarti 4 x 3,61 Å
3.      Hormone estrogen nonsteriod, seperti dietilstiolbestrol, gugus-gugus hidroksilnya juga dipisahkanoleh ikatan hydrogen dengan jarak 14,5 Å
Selain jarak antara ikatan peptide, jarak antara dua struktur α-heliks protein (5,5 Å) didapatkan sama dengan jarak antar gugus-gugus fungsional dari banyak obat.
Didapatkan pada obat-obat yang termasuk golongan anestesi setempat, seperti prokain, antihistamin, seperti difendiramin, spasmolitik, seperti adifenin dan obat pemblok adrenergic, seperti piperoksan.
Konfigurasi dan jarak antar atom dari senyawa antagonis metabolic juga penting untuk aktivitas
Contoh : turunan sulfanilamide mempunyai jarak antar atom yang serupa dengan asam p-aminobenzoat dan dapat berfungsi sebagai antimetabolit
Contoh-contoh di atas menunjukan bahwa jarak antar atom dari gugus-gugus fungsional berperan dalam proses interaksi obat dengan tempat reseptor spesifik.




BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Stereokimia merupakan salah satu faktor penting dalam aktivitas biologis obat oleh karena itu pengetahuan tentang hubungan aspek stereokimia dengan aktivitas farmakologis obat sangat menarik untuk dipelajari.
Pada interaksi obat reseptor ada dua nilai yang sangat penting yaitu distribusi muatan elektronik dalam obat dan reseptor, serta bentuk konformasi obat dan reseptor. Oleh karena itu aktivitas obat tergantung pada tiga faktor struktur yang penting, yaitu:
a.       Stereokimia molekul obat
b.      Jarak antar atom atau gugus
c.       Distribusi elektronik dan konfigurasi molekul

1 komentar:

nurulahxzx@gmail.com mengatakan...

kaka daftar pustaka nya😂?

Posting Komentar

Teman-teman yang baik hati,,
Terimakasih sudah meluangkan waktu untuk mampir diblog sederhana ini.
Blog ini saya buat untuk memudahkan sobat sekalian dalam mencari tugas.
Data yang dikumpulkan dari tugas-tugas kampus yang saya miliki juga meminta ijin men"COPAS" tulisan milik oranglain tentu dengan menyertakan sumbernya.
Saya harap kalian dapat meninggalkan pesan, komentar, kritik, saran atau beberapa patah kata guna menghargai blog ini.
Jangan lupa di follow yahh... ^^
Terimakasih ^^