Minggu, 06 Januari 2013

Biofarmasi


Pada akhir tahun lima puluhan dan awal tahun enam puluhan bermunculan laporan, publikasi dan diskusi yang mengemukakan bahwa banyak obat-obat dengan kandungan, dosis dan bentuk sediaan yang sama dan dikeluarkan oleh industri farmasi yang berbeda memberikan kemanjuran yang berbeda. Sekitar tahun 1960 para sarjana mulai sadar bahwa efek obat tidak tergantung semata-mata pada faktor farmakologi, melainkan juga faktor-faktor formulasi yang dapat mengubah efek obat dalam tubuh, antara lain :
  • Bentuk fisik zat aktif (amorf, kristal atau kehalusannya)
  • Keadaan kimiawi (ester, garam, garam kompleks, dsb)
  • Zat pembantu (pengisi, pelekat, pelicin, pelindung, dsb)
  • Proses teknik yang digunakan untuk membuat sediaan (tekanan tablet, alat emulgator, dsb)
Laporan-laporan dan publikasi-publikasi tersebut menyebabkan munculnya ilmu baru dalam bidang farmasi yaitu biofarmasi. Riegelman, John Wagner dan Geihard Levy dinamakan sebagai pelopor biofarmasi. Pada tahun 1961 dalam suatu artikel review di Journal of Pharmaceutical Sciences dikemukakan definisi dari biofarmasi sebagai berikut : “ Biofarmasi adalah cabang ilmu farmasi yang mempelajari hubungan antara sifat-sifat fisiko kimia dari bahan baku obat dan bentuk sediaan dengan efek terapi sesudah pemberian obat tersebut kepada pasien”.
Perbedaan sifat fisiko kimia dari sediaan ditentukan oleh bentuk sediaan, formula dan cara pembuatan, sedangkan perbedaan sifat fisiko kimia bahan baku obat dapat berasal dari bentuk bahan baku ( ester , garam, kompleks atau polimorfisme) dan ukuran partikel. Menyadari akan perkembangan biofarmasi ini maka American College of Pharmacy Assosiation pada tahun 1968 memutuskan bahwa semua College/School of Pharmacy yang terakreditasi di Amerika harus mengadakan kuliah biofarmasi dan farmakokinetika dalam kurikulumnya. Selanjutnya perkembangan ilmu biofarmasi , melihat bentuk sediaan sebagai suatu “drug delivery system” yang menyangkut pelepasan obat berkhasiat dari sediaannya, absorpsi dari obat berkhasiat yang sudah dilepaskan, distribusi obat yang sudah diabsorpsi oleh cairan tubuh, metabolisme obat dalam tubuh serta eliminasi obat dari tubuh. 

"Biofarmasi adalah ilmu yang mempelajari / menyelidiki pengaruh-pengaruh pembuatan sediaan atas kegiatan terapetik obat."


Sebelum obat yang diberikan pada pasien sampai pada tujuannya dalam tubuh, yaitu tempat kerjanya atau target site, obat harus mengalami banyak proses. Dalam garis besar proses-proses ini dapat dibagi dalam tiga tingkat, yaitu Fase Biofarmasi, Fase Farmakodinamik, Fase Farmakokinetika, yang mana dapat digambarkan dengan skema berikut untuk obat dalam bentuk tablet yaitu :

1. Farmaceutical availability -- Biological availability :
Tablet dengan Zat Aktif --> (FASE BIOFARMASI) Tablet pecah, granul pecah, zat aktif lepas dan larut --> Obat tersedia untuk resorpsi --> Adsorpsi, Metabolisme, Distribusi, Ekskresi (FASE FARMAKOKINETIKA) --> Obat tersedia untuk bekerja --> Interaksi dengan reseptor di tempat kerja (FASE FARMAKODINAMIKA) --> EFEK

Keterangan Skema diatas :

2. Fase Biofarmasi atau Farmasetika :
Fase ini meliputi waktu mulai penggunaan sediaan obat melalui mulut hingga pelepasan zat aktifnya ke dalam cairan tubuh. Misalnya : tablet hanya mengandung 5-10% zat aktif, 90% zat tambahan yang terdiri dari 80% zat pengencer, zat pengikat dan 10% zat penghancur tablet. Yang penting dalam hubungannya dengan fase ini adalah kesediaan farmasi dari zat aktifnya, yaitu obat siap diabsorpsi.

3. Fase Farmakokinetika
Fase ini meliputi waktu selama obat diangkut ke organ yang ditentukan, setelah obat dilepas dari bentuk sediaan. Obat harus diabsorpsi ke dalam darah, yang segera akan didistribusikan melalui tiap-tiap jaringan tubuh. Dalam darah, obat dapat terikat protein darah dan mengalami metabolisme, tetapi hanya sedikit yang tersdia untuk diikat pada struktur yang telah ditentukan. Perlu diketahui bahwa jaringan yang ditentukan tidak perlu identik dengan reseptor.

4. Fase Farmakodinamika
Bila obat berinteraksi dengan sisi reseptor, biasanya protein membran, akan menimbulkan respon biologik. Tujuan pokok dari fase ini adalah optimalisasi dari efek biologik.
Demikian Pengertian Biofarmasi secara umum dari "nasib" obat dari mulai diminum sampai menimbulkan efek terapi untuk kita. Semoga bermanfaat.

Proses yang disebutkan di atas dapat dilihat dari skema pemberian obat secara oral (misal tablet) berikut ini :


Kecepatan pelepasan obat dipengaruhi oleh bentuk sediaan, formula dan cara pembuatan sehingga bisa terjadi sebagian obat dilepas di saluran cerna dan sebagian lagi masih belum dilepas sehingga belum sempat
diabsorpsi sudah keluar dari saluran cerna. Malah sekarang ini pelepasan obat dari sediaan bisa diatur atau dikontrol sehingga absorpsi bisa terjadi lama di saluran cerna, maka timbulah sediaan farmasi yang semula dipakai tiga kali sehari menjadi satu kali sehari. Umumnya obat yang sudah terlarut dalam cairan saluran cerna bisa diabsorpsi oleh dinding saluran cerna, tetapi dilain pihak obat yang sudah terlarut itu bisa terurai tergantung dari sifatnya , sehingga sudah berkurang obat yang diabsorpsi. Menyadari kenyataan ini maka munculah produk sediaan yang melalui kulit untuk tujuan pemakaian sistemik seperti untuk obat jantung, hormon, obat anti mabuk dan lain-lain . Tidak mungkin menempelkan obat di kulit berbulan bulan, apalagi bertahun tahun, sehingga munculah obat diimplantasi di bawah kulit seperti obat untuk keluarga berencana yang bisa bertahan sampai tiga tahun. 

Sesudah obat didistribusikan dalam tubuh maka konsentrasinya akan ditentukan oleh parameter farmakokinetikanya Walaupun kita kontrol atau perlambat pelepasannya dari sediaan tetapi kalau tidak memperhatikan parameter farmakokinetikanya bisa terjadi kadar obat di bawah MEC sehingga tidak memberikan kemanjuran. Biofarmasi dan farmakokinetika menjadi dasar utama dalam pekerjaan pengembangan produk baru. Suatu produk baru yang akan dikeluarkan oleh suatu industri haruslah diyakini kemanjurannya, sehingga perlu dilakukan uji kemanjuran. Ada beberapa uji produk yang dianggap memberikan gambaran terhadap kemanjuran sediaan tersebut yaitu uji secara in vitro, in situ dan in vivo
seperti ditunjukkan oleh bagan berikut ini :
Compendia seperti Farmakope hanya mensyaratkan uji in vitro terhadap produk obat seperti waktu hancur dan atau uji kecepatan disolusi obat dari sediaan untuk tablet/kapsul. Test in vitro ini tidak memberikan jaminan terhadap kemanjuran produk tersebut. Uji farmakokinetika yang betul-betul memberikan jaminan. Tetapi untuk melakukan uji farmakokinetika suatu produk baru dari obat lama adalah terlalu lama, terlalu mahal dan hasilnya masih diperdebatkan . Cara yang terbaik adalah melakukan uji bioavailabilitas yang merupakan ukuran kecepatan dan jumlah obat yang diabsorpsi oleh tubuh. Uji bioavailabilitas ini haruslah uji bioavailabilitas komparatif terhadap produk innovator, yaitu suatu produk yang sudah lama digunakan dan mendapat pengakuan pengalaman klinis dari para dokter.

FDA dari Amerika Serikat pada tahun 1975 telah menetapkan bahwa jika ada pabrik yang membuat sediaan yang telah dikeluarkan pertama oleh pabrik lain, maka pabrik yang ikut itu harus menunjukkan minimum sediaannya bioekivalen dengan produk inovatornya.

sumber :
Prof. Dr. Fauzi Sjuib. FARMAKOKINETIKA DAN BIOFARMASI SEBAGAI JEMBATAN
ANTARA DOKTER DAN APOTEKER. Dep. Farmasi ITB. Bandung.
http://farmasi-id.blogspot.com/2010/09/pengertian-dan-penjelasan-ilmu.html

0 komentar:

Posting Komentar

Teman-teman yang baik hati,,
Terimakasih sudah meluangkan waktu untuk mampir diblog sederhana ini.
Blog ini saya buat untuk memudahkan sobat sekalian dalam mencari tugas.
Data yang dikumpulkan dari tugas-tugas kampus yang saya miliki juga meminta ijin men"COPAS" tulisan milik oranglain tentu dengan menyertakan sumbernya.
Saya harap kalian dapat meninggalkan pesan, komentar, kritik, saran atau beberapa patah kata guna menghargai blog ini.
Jangan lupa di follow yahh... ^^
Terimakasih ^^